Ketika dirimu ditanya tentang sesuatu yang TIDAK ENGKAU KETAHUI atau yang engkau RAGU-RAGU dengan jawabannya; maka JANGANLAH MALU untuk berkata “AKU TIDAK TAHU”

sa nda tauJanganlah malu untuk menjawab “aku tidak tahu” (ketika dirimu ragu atau tidak tahu) karena orang lebih mulia darimu telah mendahuluimu untuk mengucapkannya (yakni malaikatNya, RåsulNya, para shåhabat RåsulNya, dan orang-orang mengikuti mereka dengan baik).

Janganlah malu pula untuk menyerahkan kepada yang lebih ahli darimu untuk menjawabnya karena para salafush shålih pun telah mendahuluimu untuk melakukannya.

Namun hendaknya engkau malu, ketika engkau berkata atas apa-apa yang tidak engkau ketahui.

atau engkau berkata dengan sesuatu yang sebenarnya tidak engkau ketahui.

Wallåhu A’lam

Tentang perkataan “aku tidak tahu”

Maka dalil-dalilnya:

1. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmunya sesungguhnya pendengaran, pengelihatan, dan hati seluruhnya itu akan ditanya tentangnya” [al Isra:36]

Tafsir ayat:

Qatadah mengatakan:

“Jangan kamu katakan bahwa kamu melihat sementara kamu tidak melihat, mendengar sementara kamu tidak mendengar, mengetahui sementara kamu tidak mengetahui karena Allah akan bertanya kepadamu tentang itu semua.”

Ibnu Katsir mengatakan:

“Kandungan tafsir yang mereka (para ulama) sebutkan adalah bahwa Allah MELARANG BERBICARA TANPA ILMU, BAHKAN HANYA SEKEDAR SANGKAAN (karena) yang (demikian) itu hanyalah (merupakan) perkiraan dan khayalan ”

[Tafsir Ibnu Katsir:3/43]

2. Allåh Ta’ala berfirman:

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

yang artinya:

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:

“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”

(al-baqarah 2:31)

قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا . إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Mereka (Malaikat) menjawab:

“Maha Suci Engkau, TIDAK ADA YANG KAMI KETAHUI selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

(al-baqarah 2:32)

3. Allåh berfirman:

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ

Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu (atas dakwahku), dan aku bukan termasuk orang yang mengada-ada.”

(Shad: 86)

Ibnu Mas’ud berkata:

“Barang siapa mengetahui sesuatu hendaklah ia berkata dengan pengetahuannya itu. Sedangkan yang tidak mengetahui hendaklah ia mengucapkan “Allahu A’lam (Allah lebih mengetahui)”. Karena, sesungguhnya Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya: Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu (atas dakwahku), dan aku bukan termasuk orang-orang yang mengada-ada.”

Ini (perkataan “aku tidak tahu” ketika kita ditanya sesuatu yang tidak kita ketahui) pun merupakan prinsip yang diamalkan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Hadits Muhammad bin Jubeyr

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ َنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ قَالَ فَقَالَ « لاَ أَدْرِى ». فَلَمَّا أَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ « يَا جِبْرِيلُ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ ». قَالَ لاَ أَدْرِى حَتَّى أَسْأَلَ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ. فَانْطَلَقَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَمْكُثَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّكَ سَأَلْتَنِى أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ فَقُلْتُ لاَ أَدْرِى وَإِنِّى سَأَلْتُ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ فَقَالَ َسْوَاقُهَ
Dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya, sesungguhnya ada seorang yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,

“Wahai rasulullah tempat apakah yang paling buruk?”.

Jawaban Rasul:

لاَ أَدْرِى

“Aku tidak tahu”.

Ketika Jibril datang menjumpai Nabi, beliau bertanya kepada Jibril:

يَا جِبْرِيلُ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ

“Wahai Jibril, tempat apakah yang paling buruk?”.

Jibril berkata:

لاَ أَدْرِى حَتَّى أَسْأَلَ رَبِّى عَزَّ وَجَلّ

“Aku tidak tahu. Kutanyakan dulu kepada Rabbku (Allåh) azza wa jalla”.

Jibril lantas pergi; kemudian setelah beberapa waktu lamanya, Jibril datang dan berkata:

يَا مُحَمَّدُ إِنَّكَ سَأَلْتَنِى أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ فَقُلْتُ لاَ أَدْرِى

“Wahai Muhammad, engkau pernah bertanya kepadaku tentang tempat yang paling buruk, lalu jawabku adalah aku tidak tahu.

وَإِنِّى سَأَلْتُ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ

Hal itu telah kutanyakan kepada tuhanku azza wa jalla,

أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ

‘Tempat apakah yang paling buruk?’.

فَقَالَ َسْوَاقُهَ

JawabNya, “Pasar”.

(HR Ahmad no 16790, namun Syeikh Syu’aib al Arnauth mengatakan, ‘Sanadnya LEMAH’; namun maknanya BENAR).

Namun dalam riwayat lain, yang lafazh: أسواقها ; maka hadits ini diHASANkan oleh Syaikh al Albaaniy dalam shifatul fatwa

5. Hadits Ibnu Umar

Walaupun hadits diatas dhaif, namun ada hadits serupa dengannya yang sanadnya HASAN. hadits tersebut berbunyi:

عن ابن عمر أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم : أي البقاع شر ؟ قال : ( لا أدري حتى أسأل جبريل ) فسأل جبريل فقال : لا أدري حتى أسأل ميكائيل فجاء فقال : ( خير البقاع المساجد وشرها الأسواق )

قال شعيب الأرنؤوط : حديث حسن

Dari Ibnu Umar, ada seorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Tempat apakah yang paling buruk?”.

Jawaban Nabi,

لا أدري حتى أسأل جبريل

“Aku tidak tahu, Kutanyakan dulu kepada Jibril”.

Setelah ditanyakan kepada Jibril, Jibril mengatakan,

لا أدري حتى أسأل ميكائيل

“Aku juga tidak tahu. Kutanyakan dulu kepada Mikail”.

Pada akhirnya, Jibri datang dan mengatakan,

خير البقاع المساجد وشرها الأسواق

“Tempat yang paling baik adalah masjid. Sedangkan tempat yang paling buruk adalah pasar”.

(HR Ibnu Hibban no 1599. Syeikh Syuaib al Arnauth mengatakan, “Hadits HASAN”).

[dua hadits diatas nukil dari artikel ustadz aris munandar hafizhahullåh, http://ustadzaris.com/katakan-saja-saya-tidak-tahu%5D

Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam juga pernah bersabda (dalam HADITS JIBRIL, ketika beliau ditanya tentang kiamat):

مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ

“Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui daripada yang bertanya.”

(HR. Bukhari, Muslim)

6. Pengamalan Para Shahabat ridwanullåh ‘alayhim jamiy’an

Para shahabat pun dengan gigih mengamalkan sunnah yang mulia ini; pemuka para shåhabat, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq, ash-Shidiqul Akbar, Rådhiyallåhu ‘anhu berkata:

“Bumi mana tempatku berpijak, dan langit mana tempatku bernaung; jika aku berbicara tentang kitabullåh (atas) apa yang tidak aku ketahui ilmunya:

[Atsar ini Dhåif, lihat as-silsilah adh-dhåifah (no. 1783); dinukil dari kitab tafsiyr shåhiyh ibnu katsiyr]

Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang suatu permasalahan, beliau menjawab “Saya tidak tahu”. Kemudian beliau berkata lagi “Alangkah sejuknya hati ini” (tiga kali). Orang- orang bertanya: “Ya Amirul Mukminin, apa maksud perkataanmu itu ?”. Beliau menjawab: “Yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya ia menjawab “Allahu A’lam”.

Ibnu Mas’ud berkata:

Barangsiapa diantara kalian yang memiliki suatu ilmu, hendaklah ia mengatakannya. Dan barangsiapa yang tidak memiliki ilmu, katakanlah dalam permasalahan yang ia tidak ketahui itu : ‘Allaahu a’lam’ (Allah lebih mengetahuinya), karena seorang ulama itu adalah seorang yang jika ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya ia akan mengatakan : ‘Allahu a’lam’. Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya :

قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنْ الْمُتَكَلِّفِينَ

‘Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan”

[Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 179 – sanadnya shahih; blog abul jauzaa’].

Beliau juga berkata:

‘Sesungguhnya orang yang memberi fatwa pada setiap orang yang meminta fatwa kepadanya adalah orang gila’. Beliau pun pernah mengingkari orang yang memberanikan diri menghadapi berbagai permasalahan dan jawabannya.

Beliau juga berkata :

“Hendaknya seorang hamba bertaqwa kepada Allah dan melihat apa yang dilihat dan dikatakannya, karena kelak ia akan ditanya (atas apa yang ia lihat dan katakan itu!!)”

[Dibawakan oleh Ibnu Muflih dalam Al-Adabusy-Syari’ah 2/62, tahqiq/takhrij : Syu’aib Al-Arna’uth & ‘Umar Al-Qayyaam; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 3/1419; blog abul jauzaa’].

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaykah, bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya tentang sebuah ayat, YANG SEANDAINYA DITANYA KEPADA SELAINNYA NISCAYA ORANG ITU AKAN MENJAWABNYA, namun Ibnu Abbas DIAM, dan tidak berbicara tentangnya..

[Atsar ini SHÅHIIH, lihat tafsir ath-thåbariy (24/229), dinukil dari kitab tafsiyr ibnu katsiir]

Khalid bin Aslam berkata: ” Kami pernah berjalan bersama Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, lalu ada seorang A’rabi (dari kampung Arab) menghampiri kami dan berkata: “Apakah engkau Abdullah bin Umar? “, beliau (Abdullah bin Umar) menjawab: ” Iya “, orang dari kampung Arab ini berkata: “Aku bertanya tentang engkau lalu aku diberi unjuk tentang keberadaan engkau, maka sekarang beritahukanlah kepadaku: “Apakah bibi mewarisi? “, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menjawab: ” Laa adri (saya tidak tahu) “, orang tersebut berkata: ” Kamu tidak mengetahuinya dan kitapun tidak mengetahuinya, (bagaimana ini?), Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: ” Iya (demikian), pergilah kepada para ulama di kota Madinah, bertanyalah kepada mereka “, ketika hendak pergi orang tersebut mencium kedua tangan Abdullah bin Umar seraya berkata: ” Sungguh baik apa yang dikatakan Abu Abdirrahman (yaitu: Abdullah bin Umar) ditanya tentang sesuatu yang dia tidak ketahui maka beliau menjawab: ” Saya tidak tahu “.

(Riwayat Hasan oleh al-Baihaqi di dalam kitab as-Sunan al-Kubra (4/no. 7021) dan disebutkan oleh Ibnu hajar di dalam kitab Taghligh at-Ta’liq (3/hal. 5)dari beberapa riwayat berasal dari Ahmad bin Syu’aib, http://assunnahsurabaya.wordpress.com/2011/01/27/belajarlah-untuk-mengatakan-%E2%80%9Csaya-tidak-tahu%E2%80%9D/)

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang sesuatu, lalu beliau menjawab: “ Laa adri (saya tidak tahu), kemudian beliau berkata: “Apakah kalian ingin menjadikan punggung kami jembatan bagi kalian di neraka Jahannam, kalian mengatakan: ” Ibnu Umar telah berfatwa dengan ini “.

(Riwayat shahih oleh al-Fasawi di dalam kitab al-Ma’rifah wa at-Tarikh (1/hal. 266) dan al-Khathib di dalam kitab al-Faqih Wa al-Mutafaqqih (2/hal: 364) dan Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh Dimasyq (31/hal. 168) dari riwayat Ibnul Mubarak dari haiwah bin Syuraih dari ‘Uqbah bin Muslim; http://assunnahsurabaya.wordpress.com/2011/01/27/belajarlah-untuk-mengatakan-%E2%80%9Csaya-tidak-tahu%E2%80%9D/).

Para Shahabat Rasulullah lainnya juga selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak mereka ketahui dengan ucapan “Allahu wa Rasuluhu A’lam” (Allah dan Rasulullah lebih mengetahui) -dan ini dapat kita lihat dalam banyak hadits-.

dan riwayat-riwayat lain yang semakna yang menjelaskan betapa hati-hatinya para shahabat dari menjaga lisan-lisan mereka untuk berkata sesuatu yang tidak mereka ketahui.

7. Pengamalan para imam salafush shalih, setelah para shahabat

Dan ini pun diikuti oleh imam-imam setelah mereka.

dari Humaid bin ‘Abdirrahmaan, ia berkata :

“Menjawab dengan jawaban tidak tahu, itu lebih aku sukai daripada harus memaksakan diri menjawab sesuatu yang tidak aku ketahui”

[Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 149 – sanadnya jayyid; blog abul jauzaa’]

dari Ibnu Siiriin, ia berkata :

“Aku tidak peduli, aku ditanya tentang sesuatu yang aku ketahui atau yang tidak aku ketahui. Jika aku ditanya tentang sesuatu yang aku ketahui, maka akan aku katakan apa-apa yang aku ketahui. Namun jika aku ditanya tentang sesuatu yang tidak aku ketahui, maka akan aku katakan : ‘Aku tidak tahu’”

[Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 189 – sanadnya shahih].

‘Abdul-Malik bin Abi Sulaimaan, ia berkata : Sa’iid bin Jubair pernah ditanya tentang satu permasalahan, lalu ia menjawab : “Aku tidak tahu”. Kemudian ia melanjutkan : “Sungguh celaka orang yang mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui : ‘Sesungguhnya aku mengetahuinya’”

[Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih no. 1568, tahqiq : Abul-Asybaal Az-Zuhairiy; Daar Ibnil-Jauziy, Cet. 1/1414 – sanadnya hasan; blog abul jauzaa].

Imam Asy-Sya’by pernah ditanya tentang sesuatu, beliau menjawab: “Saya tidak tahu”. Tapi beliau malah ditanya lagi: “Apakah engkau tidak malu mengucapkan tidak tahu, sedangkan engkau seorang ahli fiqih di Iraq ?”. Asy-Sya’by menjawab: “Tetapi Malaikat tidak malu untuk berkata: سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang engkau ajarkan kepada kami’ “.

Ibnu Wahb berkata: “Saya mendengar Imam Malik sering berkata ‘saya tidak tahu’, seandainya kami menulis ucapannya itu pasti akan memenuhi lembaran yang banyak.”

Dari Al Haitsam bin Jamil, beliau berkata,

“Aku menyaksikan Malik bin Anas (yakni IMAM MALIK -abu zuhriy) ditanya 48 masalah, maka beliau menjawab 32 pertanyaan di antaranya dengan: Aku tidak tahu.”

(Adabul Muftii wal Mustaftii halaman 79, dinukil dari: http://salafiyunpad.wordpress.com/2007/11/14/jangan-bermudah-mudah-dalam-berfatwa/)

‘Abdurrahman bin Mahdiy berkata :

Kami pernah berada di sisi Maalik bin Anas. Lalu datanglah seorang laki-laki dan berkata kepadanya : “Wahai Abu ‘Abdillah, aku mendatangimu dari daerah yang berjarak enam bulan perjalanan. Penduduk negeriku telah menitipkan satu permasalahan kepadaku untuk aku tanyakan kepadamu”.

Maalik berkata : “Bertanyalah”. Laki-laki itu pun bertanya tentang permasalahannya”. Maalik berkata : “Aku tidak dapat menjawabnya”.

Laki-laki itu bingung/tercengang karena ia beranggapan telah menemui orang yang mengetahui segala sesuatu. Ia berkata : “Apa yang harus aku katakan kepada penduduk negeriku apabila aku kembali kepada mereka nanti ?”. Maalik menjawab : “Katakan saja pada mereka bahwa Maalik tidak bisa menjawab pertanyaan mereka”

[Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih no. 1573 – sanadnya shahih; blog abuljauzaa’].

Ibnu Wahb, ia berkata : Maalik pernah berkata kepadaku – dan ia mengingkari banyaknya jawaban terhadap pertanyaan (yang diajukan) – : “Wahai ‘Abdullah, apa-apa yang engkau ketahui, maka katakanlah dan tunjukkanlah hal itu. Adapun yang tidak engkau ketahui, maka diamlah darinya. Janganlah engkau mengikuti manusia seperti qiladatu sau’”

[Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr Jaami Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih no. 2080 – sanadnya shahih; blog abul jauzaa’].

Imam Maalik berkata:

“Sepatutnya bagi seorang ‘aalim (ulama) untuk mengatakan kepada teman-temannya : ‘aku tidak tahu’; sehingga hal itu menjadi asal dan penolong bagi mereka saat ia ditanya permasalahan yang tidak diketahui, lalu ia akan menjawab : ‘aku tidak tahu’”

[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal 2/271 no. 809, tahqiq : Prof. Muhammad Dliyaaur-rahman Al-A’dhamiy; Adlwaaus-Salaf, Cet. 2/1420 – sanadnya shahih; blog abul jauzaa’].

Demikian pula al-Imaam al-Bukhåriy, beliau berkata dalam kitab shåhihnya:

باب : العلم قبل و العمل

“Baab: Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)”.

Perkataan beliau ini beliau sandarkan kepada firman Allah ta’ala:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu”

(QS. Muhammad [47]: 19).

Ibnul Munir rahimahullah berkata,

“Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat diterima benarnya suatu perkataan dan perbuatan.

Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu.

Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.”

(Fathul Bari, 1/108)

Sufyan ats-Tsauriy berkata:

“Ibadah yang pertama kali adalah diam, kemudian menuntut ilmu, (setelah mendapatkan ilmu, maka kita) mengamalkannya, menghafalnya dan menyampaikannya.”

[Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat l-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43]

Ada nasehat yang sangat berharga dari Abu Dziyal:

“Belajarlah mengucapkan ‘saya tidak tahu’, jangan kamu belajar mengucapkan ‘saya tahu’. Karena, jika kamu mengatakan ‘saya tidak tahu’, kamu akan diajarkan sampai kamu tahu. Tapi,kalau kamu mengatakan ‘saya tahu’, kamu akan terus ditanyai sampai akhirnya kamu mengucapkan ‘tidak tahu’ “.

Tentang menyerahkan kepada ahlinya

Adapun dalil tentang dianjurkan untuk menyerahkan ‘tugas menjawab’ kepada yang lebih ahli dari kita adalah:

Allah berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

maka bertanyalah kepada AHLIDZ DZIKR jika kamu tidak mengetahui (An-Nahl: 43)

Dijelaskan oleh para ulama ahli tafsir makna ahlidz dzikr diatas adalah AHLI ILMU.

Dan ayat diatas DIAMALKAN sebaik-baiknya oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, yang ketika ditanya sesuatu yang tidak diketahuinya, beliau menanyakannya kepada jibril, bahkan Jibril yang tidak mengetahuinya menanyakannya kepada Mikail, yang kemudian mereka bertanya kepada Allah (Sang Pemilik Ilmu).

Bahkan sekalipun kita mengetahuinya, namun kita mendapati orang yang LEBIH BAIK ilmunya dari kita, maka kita hendaknya menyerahkannya kepada mereka. Diriwayatkan dari ’Abdurrahman bin Abi Laila berkata,

“Aku telah bertemu dengan 120 (SERATUS DUA PULUH ORANG) sahabat Nabi dari kalangan Anshar, tidaklah salah seorang dari mereka ditanya tentang suatu masalah melainkan ia berharap temannya yang lain-nyalah yang menjawabnya…”

(HR Ad-Daarimi (53), Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqaat (VI/110), Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd (58), al-Fasawi dalam kitab al-Ma’rifah wat Taariikh (II/817-818)).

Imam Asy Syafi’I berkata :

“Tidak halal bagi seorangpun berfatwa dalam agama Allah kecuali orang yang berilmu tentang kitabullah, nasikh mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, ta’wil dan tanzilnya, makki dan madaninya dan apa yang diinginkan darinya. Kemudian ia mempunyai ilmu yang dalam mengenai hadits Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana ia mengenal Al Qur’an. Mempunyai ilmu yang dalam mengenai bahasa arab, sya’ir-sya’ir arab dan apa yang dibutuhkan untuk memahami al qur’an, dan ia mempunyai sikap inshaf (adil) dan sedikit berbicara. Mempunyai keahlian dalam meyikapi perselisihan para ulama. Barang siapa yang memiliki sifat-sifat ini, silahkan ia berbicara tentang ilmu dan berfatwa dalam masalah halal dan haram, dan barang siapa tidak memilikinya maka ia hanya boleh berbicara tentang ilmu namun tidak boleh berfatwa “.

(Shahih faqih wal mutafaqqih hal 390; artikel ustadz badru).

Semoga bermanfa’at

Sumber: abuzuhriy.wordpress.com

Tinggalkan komentar