Hadits Lemah Tentang Siapa Yang Mengumandangkan Adzan Shalat Maka Dialah Yang Mengumandangkan Iqamah

adzanUstadz Abdullah Taslim MA

رُوِيَ عَنْ زِيَادِ بْنِ الحَارِثِ الصُدَائَي ، عَن النَّبِيِّ  أَنَّهُ قَالَ: « مَنْ أَذَّنَ فَهُوَ يُقِيمُ » رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وأحمد وغيرهم

Diriwayatkan dari Ziyad bin al-Harits ash-Shuda-i رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang mengumandangkan adzan (shalat) maka dialah yang mengumandangkan iqamah”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 514), at-Tirmidzi (1/838), Ibnu Majah (no. 717), Ahmad (4/169) dan lain-lain, dari Jalur ‘Abdur Rahman bin Ziyad al-Ifriqi, dari Ziyad bin Nu’aim al-Hadhrami, dari Ziyad bin al-Harits ash-Shuda-i رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ.

Hadits ini adalah hadits lemah, dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Abdur Rahman bin Ziyad bin An’um al-Ifriqi, Imam Ibnu Hajar berkata tentangnya: “Dia lemah dalam hafalannya”[1].

Hadits ini dinyatakan lemah oleh Imam at-Tirmidzi sendiri, beliau berkata: “Hadits Ziyad ini hanya dikenal dari riwayat (‘Abdur Rahman bin Ziyad) al-Ifriqi dan dia lemah (riwayat haditsnya) menurut para ulama Ahli hadits. Dia dinyatakan lemah oleh Imam Yahya bin Sa’id al-Qaththan dan selainnya”[2].

Hadits ini juga dinyatakan lemah oleh Imam al-Baihaqi, al-Bagawi, an-Nawawi dan Syaikh al-Albani[3].

 

Hadits yang semakna diriwayatkan dari Shahabat yang lain, ‘Abdullah bin ‘Umar رضي الله عنه, dari Rasulullah ﷺ dengan lafazh: “Hanyalah (boleh) mengumandangkan iqamah orang yang telah mengumandangkan adzan”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (12/435), al-Baihaqi dalam “as-Sunanul kubra” (1/399), al-‘Uqaili dalam “adh-Dhu’afaa’” (2/105), Ibnu Hibban dalam “al-Majruuhiin” (1/324) dan Ibnu ‘Adi dalam “al-Kamil fidh dhu’afaa’” (3/381).

Hadits ini sangat lemah karena dalam sanadnya ada Sa’id bin Rasyid as-Sammak, Imam al-Bukhari berkata tentangnya: “Dia diingkari (riwayat haditsnya)”. Imam an-Nasa-i berkata: “Dia ditinggalkan (riwayat haditsnya karena kelemahannya yang sangat parah)”[4].

Hadits ini dinyatakan kelemahannya yang fatal oleh Imam Abu Hatim ar-Razi, beliau berkata: “Ini adalah hadits mungkar (sangat lemah), Sa’id (bin Rasyid) lemah haditsnya”, (di lain waktu) beliau berkata: “Hadits (riwayatnya) ditinggalkan (karena kelemahannya yang sangat parah)[5].

Hadits ini juga diisyaratkan kelemahannya oleh Imam al-Baihaqi, Ibnu Hibban, Ibnu ‘Adi, adz-Dzahabi, Ibnu Hajar dan al-Haitsami, serta dinyatakan lemah oleh Syaikh al-Albani[6].

Juga diriwayatkan dari jalur lain dari ‘Abdullah bin ‘Umar رضي الله عنه, dari Rasulullah ﷺ. Dikeluarkan oleh Imam Ibnu ‘Adi dalam “al-Kamil fidh dhu’afaa’” (2/435). Tapi jalur ini juga sangat lemah, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Hassam bin Mishak, dia dinyatakan sangat lemah riwayatnya oleh Imam Ahmad, Abu Zur’ah, ad-Daraquthni dan lain-lain[7].

 

Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Shahabat yang lain, ‘Abdullah bin ‘Abbas رضي الله عنه, dari Rasulullah ﷺ. Dikeluarkan oleh Imam Ibnu ‘Adi dalam “al-Kamil fidh dhu’afaa’” (6/164).

Hadits ini juga sangat lemah karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Muhammad bin al-Fadhl bin ‘Athiyah, Imam Ibnu Hajar berkata tentangnya: “Para ulama Ahli hadits menyatakannya sebagai pendusta”[8].

Hadits ini diisyaratkan kelemahannya oleh Imam Ibnu ‘Adi dalam kita beliau di atas.

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Termasuk dampak buruk dari hadits lemah ini adalah menyebabkan timbulnya pertengkaran di antara orang-orang yang shalat (berjama’ah di masjid), sebagaimana ini terjadi beberapa kali. Yaitu tatkala sang muadzdzin (petugas adzan di masjid tersebut) terlambat kembali ke masjid (setelah mengumandangkan adzan) karena ada ‘udzur tertentu, kemudian salah seorang yang ada di masjid ingin mengumandangkan iqamah untuk shalat, maka serta merta datanglah seseorang yang melarangnya dengan menyampaikan hadits ini sebagai argumentasinya. Padahal orang yang perlu dikasihani ini tidak mengetahui bahwa hadits tersebut lemah dan tidak boleh dinisbatkan kepada Rasulullah ﷺ, apalagi dijadikan argumentasi untuk melarang orang lain bersegera melaksanakan ketaatan kepada Allah ﷻ, yaitu mengumandangkan iqamah untuk shalat (berjamaah)”[9].

Catatan Kaki:

[1] Kitab “Taqriibut tahdziib” (hlmn 340).

[2] Kitab “Sunan at-Tirmidzi” (1/383).

[3] Lihat “as-Sunanul kubra” (1/399), “al-Majmuu’u syarhul Muhadzdzab” (3/121) dan “adh-Dha’iifah” (1/108).

[4] Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab “Miizanul i’tidal” (2/135).

[5] Kitab “’Ilalul hadiits” (1/123).

[6] Lihat “as-Sunanul kubra” (1/399), “al-Majruuhiin” (1/324), “al-Kamil fidh dhu’afaa’” (3/382), “Miizanul i’tidaal” (2/135), Talkhiishul habiir (1/209), “Majma’uz zawaa-id” (2/104) dan “adh-Dha’iifah” (1/109).

[7] Kitab “Tahdziibut tahdziib” (2/213).

[8] Kitab “Taqriibut tahdziib” (hlmn 502).

[9] Kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (1/110).

Tinggalkan komentar