Memulangkan JENAZAH Ke Kampung Halaman

Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali AM

MUQODDIMAH[1]

Kita sering mendengar berita pemulangan jenazah ke kampung halaman, walaupun jenazah berada di kota lain atau negara lain, dengan tu­juan mayit bisa dikubur di sisi kuburan keluarga­nya.

Sebenarnya jika antara tempat meninggal dan kampung halaman sang mayit berdekatan maka tidak terlalu dipermasalahkan. Permasalahannya, sebagian kaum muslimin mengharuskan hal ini, walaupun jenazah berada di tempat yang jauh.

Kebiasaan ini memunculkan rantai perma­salahan; lambatnya proses penguburan, membu­ruknya kondisi mayat sebab terlambat mengubur­kannya, adanya biaya pembawaan jenazah yang sangat mahal dan ini semua menyelisihi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk menyegerakan urusan jenazah. Be­liau bersabda:

“Segerakanlah urusan jenazah, karena jika (jenazah) itu baik berarti kamu menyegerakan kebaikan itu untuknya, jika (jenazah) itu tidak demikian, berarti kamu meletakkan yang buruk itu dari pundakmu.” (HR. Bukhori: 1231 dan Muslim: 1568)

MENYEGERAKAN URUSAN JENAZAH BUKAN BERARTI TERGESA-GESA

Islam — sebagaimana hadits di atas—meme­rintah umatnya menyegerakan urusan jenazah. Demikianlah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para saha­batnya radhiyallahu ‘anhuma mereka bersegera membawa jenazah sampai di kuburan. Uyainah bin Abdurrohman dari ayahnya, beliau berkata :

Tatkala ia mengantarkan jenazah Utsman bin Abil Ash, kami berjalan pelan, lalu Abu Bakroh rahimahullah me­nyusul kami dengan mengangkat suara, dia berkata : “Sungguh kami dahulu bersama Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber­jalan dengan cepat (mengantar jenazah).” (HR. Abu Dawud : 2725, dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah dalam Shohih at-Targhib wat Tarhib: 3510)

Berkata Ibnu Daqiq al-ld[2] : “Disunnahkan ber­segera (mengantar jenazah) sebagaimana hadits di atas, tetapi tidak boleh dengan cara berlari [3] karena (hal itu) akan mengakibatkan terjadinya berbagai kerusakan pada mayit.”

BAGAIMANA DENGAN PENGUBURAN JENAZAH NABI SAW ?

Adapun Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak segera dikuburkan pada hari wafatnya. Beliau wafat pada hari Senin dan dikuburkan pada malam Rabu[4]. Akan tetapi, ini adalah hukum khusus bagi Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan alasan sebagai berikut[5] :

1.      Kaum muslimin dari berbagai tempat terus berdatangan untuk melihat jasad beliau, dan mensholatinya, dan tidak henti-hentinya hing­ga terlambat menguburkannya.

2.      Keterlambatan ini bukanlah kesengajaan para sahabat untuk mengulur-ulur jenazah Ro­sululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melainkan karena mereka terus bermusyawarah tentang tempat penguburan­nya, sampai mereka (para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sepakat bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dikubur di tempat wafatnya setelah mereka mengetahui hadits :

“Alloh tidak akan mewafatkan seorang nabi pun ke­cuali akan dikuburkan di tempat rohnya dicabut.”[6]

HUKUM MEMINDAHKAN JENAZAH YANG BELUM DIKUBUR DART SATU TEMPAT KE TEMPAT LAIN

Memindahkan jenazah (sebelum dikubur) dari satu tempat ke tempat lain, secara umum menye­lisihi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk menyegerakan urus­an jenazah. Selain itu, ia memudhorotkan jenazah berupa rusaknya jenazah karena terlambat me­nguburkannya atau karena goncangan-goncang­an ketika dibawa dalam perjalanan jauh, dan memberatkan orang-orang yang masih hidup.

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, sebagian berpendapat haram[7] sebab alasan di atas, ada yang berpendapat makruh[8], sebagian lain menganggap boleh secara mutlak[9]. Akan tetapi, pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah yang merinci hukumnya berbeda-beda menurut perbedaan keadaan, serta menurut jauh dekatnya jarak antara tempat meninggalnya dengan kuburan yang dimaksud[10]. Oleh karena itu kita simpulkan macam-macam keadaan serta hukumnya sebagai berikut :

MEMINDAHKAN JENAZAH KE TEMPAT YANG LE! MULIA (SEPERTI MAKKAH DAN MADINAH)

Empat madzhab fiqih membolehkannya[11], akan tetapi jika terpenuhi beberapa syarat berikut[12] :

§  Tempat jenazah tersebut berdekatan dengan tempat-tempat mulia ini.

§  Ketika memindahkannya tidak terdapat kesulitan yang memberatkan.

§  Jenazah tersebut harus terjaga dari kerusakan dan kehormatannya terlindungi.

§  Tidak menyulitkan keluarga serta para pengantarnya.

Dalil mereka :

§  Ada beberapa alasan yang melandasi perkataan ini, di antaranya hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu dikisahkan bahwa ketika Nabi Musa ‘alaihis salam hendak diwafatkan, beliau meminta kepada Alloh supaya didekatkan kuburnya sedekat satu lemparan batu dengan tanah suci (lihat HR. Bukhori : 1253 dan muslim: 4374).

§  Dalil lain, Umar bin Khoththob radhiyallahu ‘anhu pernah memohon kepada Alloh dengan permohonan yang tidak ditentang oleh para sahabat lain beliau berkata :

Ya Alloh anugerahi saya syahid di jalan-Mu dan matikan aku dinegerinya Rosul-Mu.” (HR. Bukhori : 1757 dan Muslim : 3316)

§  Demikian juga hadist dari Ibnu Umar, beliau mengatakan, Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Barang siapa yang bisa mati di Madinah, maka hendaknya ia mati disana, karena aku akan memberi syafa’at bagi yang mati di sana.” (HR. Tirmidzi : 3917, Ibnu Majah : 3112 dan dishohihkan oleh al-Albani dalam ash-Shohihah : 2928)

Hal ini seperti yang dikatakan oleh az-Zuhri, bahwa Saad bin Abi Waqqosh dan Said bin Zaid ketika wafat di al-‘Aqiq kemudian diba­wa ke Madinah. Demikian juga Ibnu Uyainah  rahimahullah berkata : “Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, wafat di al-‘Aqiq, beliau telah berwasiat supaya tidak dikubur di sana, tetapi di Sarif.”[13]

MEMINDAHKAN JENAZAH KE KAMPUNG HALAMANNYA SUPAYA DIKUBUR BERSAMA KELUARGANYA

Mayoritas para ulama[14] membolehkan memin­dahkan jenazah sebelum dikubur ke kampung halamannya supaya sang mayat dikubur ber­dampingan dengan kuburan keluarganya[15]. Akan tetapi demi bolehnya hal ini harus terpenuhi be­berapa syarat[16], di antaranya:

§  Jarak antara tempat meninggalnya dengan ku­buran tersebut berdekatan.

§  Ketika memindahkannya tidak terdapat kesu­litan yang memberatkan.

§  Jenazah tersebut harus terjaga dari kerusakan dan kehormatannya terlindungi.

§  Tidak menyulitkan keluarga serta para pen­gantarnya.

Dalil bolehnya masalah ini adalah sabda Rosu­lulloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala Utsman bin Mazh’un                 wafat, beliau meletakkan batu sebagai tanda bahwa di sinilah kuburan Utsman (saudara sepersusuan­nya), lalu beliau mengatakan :

“(Aku letakkan batu ini) supaya aku mengetahui di mana kuburan saudara (sepersusuan)ku ini, dan aku dapat menguburkan keluargaku yang mati di sam­pingnya.” (HR. Abu Dawud 2/69, dan dishohih­kan oleh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shohihah : 3060)

MEMINDAHKAN JENAZAH KE TEMPAT LAIN SUPAYA DIKUBUR BERDAMPINGAN DENGAN ORANG SHOLIH

Memindahkan jenazah ke tempat lain supaya dikubur berdampingan dengan orang sholih ti­dak dianjurkan[17], tetapi juga tidak dilarang[18] jika terpenuhi syarat-syarat di bawah ini :

§  Jarak antara tempat meninggalnya dengan kuburan tersebut berdekatan.

§  Ketika memindahkannya tidak terdapat kesu­litan yang memberatkan.

§  Jenazah tersebut harus terjaga dari kerusakan dan kehormatannya terlindungi.

§  Tidak menyulitkan keluarga serta para pe­ngantarnya.

§  Tidak disertai keyakinan rusak, seperti keyakin­an bahwa orang yang dikubur berdampingan dengan orang sholih dijamin surga, diampuni dosa-dosanya, tertolong ketika menjawab fit­nah kubur, atau akan selamat dari siksa neraka, atau keyakinan lain yang menyelisihi aqidah Islam.[19]

MEMINDAHKAN JENAZAH DARI SUATU TEMPAT KE TEMPAT LAIN YANG JAUH KARENA DARURAT

Memindahkan jenazah yang belum dikubur ke tempat lain karena kondisi darurat dibolehkan, seperti jika seorang muslim mati di negeri kafir dan dikhawatirkan jasadnya tidak diurus, disia­siakan atau dihinakan, atau dikhawatirkan jika dikubur di tempat maka akan digali dalam wak­tu yang dekat, atau khawatir akan mengganggu yang lain, maka boleh dipindahkan ke tempat lain supaya dikubur di tempat yang aman bersama kaum muslimin lainnya walaupun jaraknya ber­jauhan[20]. Hal ini sebagaimana perkataan Urwah bin Zubair, dikatakan oleh Imam Malik dari Hi­syam bin Urwah dari ayahnya, Urwah bin Zubair berkata: “Aku tidak suka dikubur di Baqi, aku lebih suka dikubur di tempat lain,” lalu beliau menjelaskan alasannya, “karena aku khawatir tu­lang-belulang orang sholih di Baqi’tergali karena aku (dikubur di Baqi’).”[21]

MENGGALI DAN MEMINDAHKAN MAYAT YANG TELAH DIKUBUR

Menggali dan memindahkan mayat dari ku­burnya hukum asalnya adalah haram[22], karena hal itu akan merusak kehormatan mayat yang se­harusnya dijaga dan akan menghinakannya. Ha­nya, para ulama membolehkannya ketika terdapat kebutuhan syar’i, atau dalam kondisi darurat yang mengharuskan digalinya kubur tersebut, maka saat itu boleh digali dan atau dipindahkan mayat­nya, seperti jika tertimbun harta berharga bersama mayat, mayat yang dikuburkan di masjid, mayat muslim yang dikubur di kuburan orang kafir, jika dibutuhkan otopsi jenazah, atau jika ada dua atau lebih mayat dikubur dalam satu liang lahat kemu­dian memungkinkan untuk disendirikan.

Bolehnya menggali dan memindahkan mayat yang sudah dikubur karena adanya kebutuhan yang syar’i[23] didasari oleh perbuatan Jabir bin Abdulloh radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :

“Ayahku dikubur (dalam satu liang lahat) dengan orang lain, aku merasa tidak enak, sehingga aku keluarkan ayahku (dari kuburnya) dan aku kuburkan ayahku dalam kuburnya sendirian. ” (HR. Bukhori : 1265)

DILARANG MEMINDAHKAN MAYAT DARI KUBURNYA KARENA MIMPI

Sebagian kaum muslimin bermimpi, dalam tidurnya didatangi sang mayat yang terlihat hidup, lalu ia memerintahkan untuk dipindahkan kuburannya ke tempat-tempat tertentu, ada yang meminta supaya dibangunkan atap, bahkan tempat yang teduh di kuburannya.

Fenomena semacam ini telah dijelaskan oleh Para kibar ulama dalam fatwa Lajnah Da’imah, berikut kesimpulannya :

Pertama, memindahkan mayat yang sudah dikubur hukumnya haram, kecuali jika ada kondisi yang mendesak yang dibolehkan secara syari’at.

Kedua, mimpi yang disebutkan tadi tidak lain adalah datang dari setan, karena dalam mimpi itu disebutkan bahwa orang mati tersebut seperti hidup bahkan bisa terbang, maka ini semua merupakan kebatilan yang menyelisihi sunnah kauniyah (ketentuan dari Alloh); ini bukanlah termasuk karomah, melainkan mainan setan-setan.

Ketiga, membangun sesuatu seperti atap atau kubah di atas kuburan adalah kemungkaran yang besar (jika terlanjur) maka harus dihilangkan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membangun suatu apa pun di atas kuburan, dan beliau memerintahkan untuk meratakan kuburan yang telah ditinggikan.[24]

KESIMPULAN DAN PENUTUP

1.      Islam memerintah umatnya menyegarkan urusan jenazah sampai penguburannya, tetapi bukan berarti tergesa-gesa.

2.      Keterlambatan penguburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertentangan dengan perintah menyegerakan urusan jenazah karena merupakan hukum khusus bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan keterlambatan tersebut bukan dengan kesengajaan, melainkan karena ada faktor yang mendesak.

3.      Hukum asal menguburkan mayat muslim adalah di kuburan kaum muslimin tempat dia saat meninggal dan tidak dibawa ke tempat lainnya, karena jika dipindahkan akan mem­perlambat urusan jenazah, memudhorotkan jenazah, serta memberatkan orang-orang yang masih hidup. Hanya, para ulama memberi kelonggaran bolehnya dikubur jenazah di tem­pat lain jika terpenuhi beberapa perkara ini, di antaranya : jaraknya berdekatan, tidak terdapat kesulitan yang memberatkan, jenazah tersebut terjamin dari kerusakan dan terlindungi kehormatannya, serta tidak menyulitkan keluarga serta para pengantarnya, serta tidak disertai keyakinan rusak, seperti keyakinan bahwa orang yang dikubur berdampingan dengan orang sholih diampuni dosa-dosanya, atau keyakinan lain yang menyelisihi aqidah Islam.

4.      Menggali dan memindahkan mayat dari kuburnya hukum asalnya adalah haram, karena akan merusak kehormatan mayat dan menghinakannya. Kecuali jika terdapat kebutuhan syar’i atau kondisi darurat yang mengharuskan digalinya kubur tersebut. Adapun mimpi-mimpi menggambarkan orang-orang yang telah mati lalu memerintahkan supaya kuburannya digali dan atau dipindahkan, maka hal ini bukanlah sebab yang syar’i dan bukan kondisi darurat, bahkan ini adalah bisikan setan, yang harus ditinggalkan.

Wallohu A’lam.

Artikel: ibnuabbaskendari.wordpress.com

Sumber: Majalah AL FURQON no. 107, edisi 04, thn ke-10, 1431.H /2010.M

Catatan Kaki: 


[1] Kami sarikan pembahasan ini dari Hukmu Naqlil Mayyit min Balad ila Balad Qobla ad-Dafn wa Ba’da ad-Dafn karya al-Amin al-haj Muhammad Ahmad, cet. 1, ad-Dar as-Saladiyah Makkah al-Mukarromah, thn. 1414 dan kami tambahkan dari referensi penting lainnya.

[2] Dalam Ihkamul Ahkam 2/169

[3] Dari sini kita ketahui kesalahan sebagian kaum muslimin yang berlari ketika mengusung jenazah, sehingga kita jumpai ada saja yang terjatuh, atau terinjak rekannya di antara para pengusung jenazah, banyak juga yang ketinggalan dari ka­langan orang-orang tua yang tidak mampu berlari. Bahkan sering pula terjadi ketika jenazah akan dikuburkan, dijumpai kotoran bahkan darah yang keluar dari mulut, hidung, dubur atau qubul mayit disebabkan oleh guncangan hebat saat dibawa dengan cara berlari. Ini adah mudhorot-mudhorot yang harus diluruskan, demikianlah yang diperingatkan oleh mayoritas para ulama dalam hal menyegerakan urusan jenazah. (Lihat Hukmu Naqlil Mayyit min Balad ila Balad Qobla ad-Dafn wa Ba’da ad-Dafn hlm. 10)

[4] Lihat al-Muhalla bil Atsar 5/154

[5] Lihat Hukmu Naqlil Mayyit min Balad ila Balad Qobla ad-Dafn wa Ba’da ad-Dafn h1m. 11, 13.

[6] Hadits ini dikeluarkan oleh as-Suyuthi dalam al-jami’ al-­Kabir 3/147/1-2), dan disampaikan pula oleh Syaikh al-Al­bani rahimahullah dalam Tandzir as-Sajid min Ittikhodz al-Qubur al-Masajid h1m. 10-11.

[7] Ini adalah pendapat al-Qodhi Husain, Imam ad-Darimi dan al-Mutawalli dalam at-Tatimmah, dan pendapat ini dikuatkan oleh Imam Nawawi rahimahullah dari kalangan ulama madzhab Syafi’i.

[8] Ini adalah madzhab Hanafi. Hanya, madzhal ini mengecualikan, boleh jika jaraknya berdekatan sermisal 2 mil saja. (Lihat Fiqhun Nawazil fil Ibadat, al-Qismul Awwal (ath-Thoharoh ash-Sholat al-Jana’iz) h1m. 81-82).

[9] Ini adalah madzhab Hanbali dan Maliki, bahkan pengikut madzhab ini membolehkannya walaupun sudah dikubur (lihat Fiqhun Nawazil fil Ibadat, al-Qismul Awwal (ath-Thoharoh ash-Sholat al-Jana’iz) h1m. 81).

[10] Lihat perkataan semisal oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullah dalam Fathul Bari 3/207.

[11] Yaitu madzhab Hanafi, madzhab Hanbali, madzhab Syafi’i, dan madzhab Maliki. (Lihat Fiqhun Nawazil, fil Ibadat, al-Qismul Awwal (ath-Thoharoh ash-Sholat al-Jana’iz) min Ilqo’ asy-Syaikh Dr. Kholid bin Ali al-Musyaiqoh hlm. 81-82) Maktabah Wasa’il ath-Tholib – al-Qoshim – Unaizah

[12] Lihat Hukmu Naqlil Mayyit min Balad i1a Balad Qobla ad-Dafn  wa Ba’da ad-Dafn h1m.16.

[13] Lihat al-Mughni 2/509-510 (dinukil dari Hukmu Naqlil Mayyit min Balad ila Balad Qobla ad-Dafn wa Ba’da ad-Dafn hlm. 15)

[14] Dari kalangan madzhab Maliki, madzhab Hanafi, madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hanbali (lihat Kitab al-Fiqh alal Madzahib al-Arba’ah 1/469).

[15] Lihat perkataan Imam Qurthubi rahimahullah dalam at-Tadzkiroh 1/94.

[16] Hukmu Naqlil Mayyit min Balad ila Balad Qobla ad-Dafn wa Ba’da ad-Dafn hlm. 23-24

[17] Kecuali madzhab Syafi’I yang menyunnahkan hal ini (lihat kitab al-Fiqh ‘alal Madzhabib al-Arba’ah 1/469).

[18] Hukmu Naqlil Mayyit min Balad ila Balad Qobla ad-Dafn wa Ba’da ad-Dafn hlm. 24-25.

[19] Adapun hadist dan atsar yang menerangkan keutamaan mengubur jenazah disamping orang-orang shohih, maka hadist-hadist itu sangat lemah tidak dapat dijadikan hujjah/dalil, seperti hadist :“Kuburkan mayat-mayatmu di tengah-tengah orang-orang sholih, karena mayat itu akan terganggu dengan tetangga yang buruk sebagaimana orang hidup terganggu dengan tetangga yang buruk.” (Hadist ini maudhu’ (palsu), karena dalam silsilah perowinya ada Sulaiman bin Isa, dia adalah perowi kadzdzab (tukang dusta).” (Lihat Silsilah Dho’ifah : 563)

[20] Lihat Fiqhun Nawazil fil Ibadat, al-Qismul Awwal (ath-Thoharoh ash-Sholat al-Jana’iz) hlm. 81

[21] Dinukil dari Hukmu Naqlil Mayyit min Balad ila Balad Qobla ad-Dafn wa Ba’da ad-Dafn hlm. 26, dengan penyesuaian.

[22] Lihat Kitab al-Fiqh ‘alal Madzahib al-Arba’ah 1/469-470.

[23] Jika dibolehkan menggali dan memindahkan mayat kare­na adanya kebutuhan syar’i, maka dalam kondisi darurat lebih dibolehkan lagi.

[24] Fatawa lajnah Da’imah 11/95 No. Fatwa 9774

Tinggalkan komentar