Bagaimana Seharusnya Mengelola Harta Anak Yatim

Ustadz Abu Ammar al-Ghoyami

Harta adalah amanah dari Allah Ta’ala. Siapa pun tentu kelak akan ditanya tentang harta yang pernah dimilikinya. Dari mana ia mendapatkannya, dan untuk apa ia menghabiskannya.[1] Dan termasuk sebesar-besar amanah harta ialah harta anak yatim. Siapa saja yang tidak menunaikan amanah dalam mengurus harta anak yatim, bahkan menyia-nyiakan hak anak yatim dengan memakannya secara sembarangan tanpa aturan, kelak Allah Ta’ala akan menuntut pertanggungjawabannya. Bahkan, harta anak yatim yang dimakannya hanya akan menjadi bara api neraka yang akan membakarnya. (QS. An-Nisa [4]:10).

SIAPAKAH ANAK YATIM?

Kebanyakan kaum muslimin ternyata belum memahami makna anak yatim yang dimaksudkan dalam nash-nash syariat. Akibatnya, mereka salah dalam menyantuni dan memberikan hak anak yatim justru kepada selain mereka. Lebih parah lagi, banyak kalangan mengatasnamakan anak-anak terlantar dan anak-anak kaum fakir miskin yang masih memiliki kedua orang tua atau masih memiliki ayah pun sebagai anak-anak yatim, hanya demi mengumpulkan harta umat dan memakannya. Jelas ini merupakan perbuatan dosa.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah (Majmu Fatawa wa Rasa’il 9/503) menyebutkan bahwa yatim ialah anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum baliqh, baik laki-laki maupun perempuan. Adapun anak yang tinggal mati ibunya sebelum baliqh maka bukanlah anak yatim, tidak menurut bahasa apalagi menurut syariat. Sebab kata yatim terambil dari kata yatmu yang artinya terpisah dan sendiri. Maksudnya, terpisah dari orang yang mencarikan (penghidupan) buatnya. Sebab ayahnyalah yang mengusahakan (penghidupan) baginya. Hal semisal juga yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.[2]

Di negeri kita ada istilah yatim piatu, yaitu anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya sekaligus sebelum ia baligh. Keadaannya tentu lebih membutuhkan santunan, baik penghidupan, kasih sayang, perawatan maupun pendidikan. Adapun istilah piatu saja, yaitu anak yang tinggal mati ibunya maka ia tidak termasuk yatim yang dibahas syariat, lantaran ia masih mempunyai penanggung biaya penghidupannya, yaitu ayahnya.

HARTA ANAK YATIM ADALAH AMANAH

Memang tidak semua anak yatim itu miskin harta.[3] Ada kalanya anak yatim memiliki banyak harta peninggalan ayahnya. Apabila ini yang terjadi, harta tinggalan ayahnya menjadi amanah yang luar biasa besar bagi siapa pun yang menyantuni mereka. Dan harta anak yatim tidak boleh dijamah kecuali untuk kemaslahatan mereka.

Mengurus harta anak yatim termasuk iman dan kebajikan yang diperintahkan. Allah Ta’ala menyebutkan bahwa memberikan hak harta anak yatim termasuk al-birr (kebaikan) seperti rukun-rukun iman dan rukun-rukun Islam. (QS. Al-Baqarah ayat 177) bahkan menyantuni anak yatim dijanjikan surga bagi pelakunya. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan, Bab keutamaan orang yang menyantuni anak yatim dengan menanggung kebutuhannya, dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ’anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam W bersabda :

”Aku dan orang yang menanggung kebutuhan anak yatim demikian ini keadaannya di surga” Perawi mengatakan, ”Beliau mengisyaratkan dengan kedua jarinya, yaitu telunjuk dan tengahnya.” (HR. al-Bukhari : 5659 yang semakna dengannya juga diriwayatkan oleh Muslim : 2983).

BAGAIMANA MENGELOLA HARTA ANAK YATIM?

Pada ulama menyebut orang yang mengurusi harta anak yatim dan menanggung penghidupan mereka dengan washi atau wali. Merekalah yang memikul amanah pemanfaatan harta anak yatim untuk kepentingan si yatim dan hartanya dengan sebaik-baiknya.

Imam al-Bukhari rahimahullah di dalam kitab Shahihnya membuat bab, ”Bab apa yang boleh dilakukan oleh washi atau wali terhadap harta si yatim dan apa yang boleh ia makan darinya sekadar kerepotannya.” Lalu beliau membawakan atsar dari Aisyah radhiyallahu ’anha tentang ayat :

(Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). Dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut) (QS. An-Nisa [4] : 6).

Aisyah radhiyallahu ’anha mengatakan : ”Ayat tersebut diturunkan pada haknya wali anak yatim. Boleh baginya mengambil bagian dari harta anak yatim. Boleh baginya mengambil bagian dari harta anak yatim apabila dia memang butuh kepada harta tersebut, sebatas apa yang ia berhak atasnya dengan cara yang baik.” (HR. Al-Bukhari : 2614). Yaitu, apabila walinya seorang yang fakir atau miskin.

Meski ulama berselisih pendapat dalam masalah ini, namun yang lebih kuat ialah apabila wali anak yatim memang benar-benar dalam keadaan fakir atau miskin, boleh memakan sebatas hajatnya tanpa berlebihan, tidak mubazir serta tanpa berbuat dosa. Maksudnya ialah tidak boleh sampai menyimpan sebagai perbekalannya dari harta anak yatim tersebut yang merupakan kelebihan dari ukuran yang dibutuhkan untuk makan.

Termasuk yang dibolehkan bagi wali ialah membaurkan dengan anak yatim dalam hal makanan maupun minuman. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu, tatkala turun ayat

(Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat.) (QS. Al-An’am [6] : 152).

Maka para sahabat para wali anak yatim pun menjauhkan diri dari harta anak yatim sehingga makanan mereka pun rusak, dagingnya busuk dan semacamnya, sehingga diadukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka turunlah ayat :

(Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah, mengurus urusan mereka secara patut adalah baik dan jika kalian berbaur bersama mereka, maka mereka adalah saudaramu. Dan Allah Maha tahu orang yang berbuat kerusakan dari yang berbuat kebaikan). (QS. Al-Baqarah [2] : 220).

Sehingga akhirnya mereka pun berbaur dengan anak-anak yatim dalam makanan. (HR. Ahmad, an-Nasa’i, Abu Dawud, al-Hakim).

Berbaur di sini terjadi dengan bercampurnya makanan anak yatim dengan makanan wali mereka. Sedangkan yang harus diperhatikan ialah bahwa Allah Ta’ala Maha tahu orang yang berniat memakan harta anak yatim dan orang yang berusaha menghindarinya. Bila anak yatim tersebut berbaur dengan anak-anaknya sendiri dan keluarga yang menjadi tanggungannya, rasanya sulit memisahkan makanannya dari makanan mereka. Sehingga apabila sampai mengharuskan ia mengambil harta anak yatim tersebut dibolehkan secukupnya saja, dengan tetap memelihara diri dari sikap aniaya.

Itulah kelapangan yang diberikan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya. Semestinya orang yang diberi amanah mengurus harta anak yatim senantiasa berlaku hanya dengan apa yang dibolehkan oleh syariat dalam memakan harta anak yatim dan membaurkannya dengan hartanya. Tidak boleh ia menukar harta anak yatim yang baik dengan hartanya yang buruk, tidak boleh pula membaurkan dalam rangka menganiaya haknya anak yatim. Termasuk juga memakannya, tidak boleh berlebihan lantaran berlebihan adalah kezaliman. (QS. An-Nisa [4] : 2 dan 6).

Adapun tentang bagaimana seorang washi atau wali mempergunakan harta anak yatim, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, 7/301-302) menjelaskan , ”Mempergunakan harta anak yatim ada tiga tingkatan, buruk, baik, tidak buruk juga tidak baik. Orang yang mempergunakan harta anak yatim dengan cara yang buruk hukumnya haram. Yaitu, seandainya Anda ingin membeli sesuatu dengan harta anak yatim sedangkan anda tahu bahwa sesuatu itu jelas merugikan, maka hal itu haram, sebab tidak diragukan bahwa ini merupakan keburukan bagi si yatim.

Dan apabila Anda mempergunakan harta tersebut untuk sesuatu yang Anda tidak tahu apakah baik atau justru buruk. Maka ini pun hukumnya haram, sebab Allah Ta’ala berfirman (artinya) :

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. (QS. Al-An’am [6] : 152)

Anda ingin mempergunakan harta anak yatim dengan usaha yang baik, tetapi Anda dihadapkan pada dua hal, usaha yang ada kebaikannya dan usaha yang kebaikannya lebih banyak, maka yang mana yang wajib Anda lakukan? Yang wajib ialah yang memiliki kebaikan lebih banyak, lantaran firman Allah Ta’ala tadi (artinya), ”… kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat.” (QS. Al-An’am [6] : 152).

Contohnya, seseorang datang kepada Anda dan mengatakan, ’Pinjami aku harta si yatim itu!” sementara orang tersebut dikenal suka menunda pembayaran utang, bahkan bisa jadi ia sangat memberikan hak orang lain. Apakah dalam keadaan ini boleh meminjamkannya? Tentu tidak boleh, sebab bila dipinjami berarti membuat tideak jelasnya status harta anak yatim dan membahayakannya.

Datanglah orang lain kepada Anda, dia mengatakan, ’Pinjami aku harta si yatim itu?’ sementara ia adalah seorang yang terkenal suka menepati janji, namun apabila Anda meminjamkannya, tidak ada kebaikannya bagi si yatim. Apa Anda akan meminjamkannya? Tidak, sebab tidak ada kebaikan bagi si yatim.

Datang orang ketiga, dia berkata, ’Pinjami aku harta si yatim itu?” sementara Anda sendiri khawatir terhadap harta tersebut apabila tetap ditangan Anda akan dicuri orang. Apakah bila dipinjamkan kepadanya ada kebaikannya? Orang ketiga ini memenuhi janji. Seandainya diminta harta tersebut darinya kapan pun, siang maupun malam, niscaya ia akan memberikannya. Sedangkan Anda sendiri khawatir apabila harta itu tetap di sisimu akan ada permusuhan antara saudara, pencurian, atau selainnya. Dalam keadaan seperti ini apabila Anda pinjamkan, hukumnya boleh, sebab ini lebih baik.

Jadi, wajib bagi wali anak yatim yang mengurusi harta mereka agar tidak mempergunakannya selain dengan cara yang lebih baik. Dari sini kita bisa ambil kaidah, yaitu bahwa setiap wali siapa saja dan dalam apa saja, agar tidak mengusahakan sesuatu (pada hal yang diurusi) selain (dengan) yang lebih baik.”[4]

ZAKAT HARTA ANAK YATIM

Washi atau wali anak yatim berkewajiban mengurusi urusan mereka dan urusan harta mereka dengan sebaik-baiknya. Termasuk mengurusi zakat hartanya apabila harta itu mencapai nishab (patokan minimum untuk mengeluarkan zakat). Dan yang demikian ini hukumnya wajib.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz  rahimahullah pernah ditanya tentang zakat harta anak yatim, beliau mengatakan,  ”Menzakati harta anak yatim berupa uang, barang-barang dagangan, hewan ternak yang digembalakan, biji-bijian dan buah yang wajib dizakati adalah wajib. Dan kewajiban wali anak yatim tersebut mengeluarkannya di waktunya. Apabila tidak ada walinya atau dari jalur ayah mereka telah meninggal, maka wajib diberitahukan ke pengadilan agama agar ditetapkan oleh hakim seorang wali buat mereka yang akan mengurusi urusan mereka dan urusan harta mereka. Dan harus bertakwa kepada Allah Ta’ala didalam menunaikannya dan berbuat untuk kebaikan mereka dan hartanya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala :

Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah : ”Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik. (QS. Al-Baqarah [2] : 220).

Dan juga firman-Nya :

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. (QS. Al-An’am [6] : 152).

Dan ayat yang semakna dengan ini banyak. Adapun tentang haul (batas kepemilikan) harta mereka dihitung sejak hari kematian ayahnya, sebab harta itu dengan kematian ayahnya masuk kepemilikan mereka. (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 14/240).

Demikian uraian sebagian kaidah mengurus harta anak yatim. Semoga bermanfaat.

Wabillahi taufiq.

 

Sumber: Majalah Al Mawaddah vol. 45 Dzulhijjah 1432H / Okt-Nov 2011M

Artikel: www.ibnuabbaskendari.wordpress.com


[1]   Berdasarkan hadits Abu Barzah al-Aslami, HR. at-Tirmidzi : 2417, beliau mengatakan, hadits ini hasan shahih.

[2]   Liqa’ al-Bab al-Maftuh 71/7.

[3]   Kebanyakan umat ini memasukkan anak yatim ke dalam golongan penerima zakat, padahal anak yatim tidak termasuk golongan penerima zakat, kecuali apabila keadaan mereka fakir atau miskin atau seperti golongan penerima zakat yang disebutkan di dalam surat at-Taubah ayat 60. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan : “Yang demikian itu apabila ia ditinggal mati kedua orang tuanya, sedangkan keduanya tidak meninggalkan harta yang mencukupinya. Apabila keduanya meninggalkan harta untuk mereka yang mencukupi kebutuhan maka tatkala itu mereka tidak lagi berhak menerima zakat. Namun mereka berhak untuk diperhatikan pemeliharaannya atas harta mereka dan berhak diperlakukan dengan baik sehingga berkembanglah harta mereka dan terpelihara. Mereka juga harus diperhatikan pendidikan, pengarahan, pengajaran serta penjagaannya dari segala hal yang tidak baik. Hingga pun, anak yatim itu sangat butuh pendidikan Islam yang baik dan pengarahan serta bimbingan. Dan apabila ia tidak memiliki harta, barulah ia juga butuh kepada harta (zakat dan lainnya)” (Majmu Fatawa bin Baz, 14/329).

[4]   Hal serupa juga disampaikan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz  rahimahullah dalam Majmu Fatawa bin Baz, 22/321-322.

Iklan

2 Responses to Bagaimana Seharusnya Mengelola Harta Anak Yatim

  1. Rohayati Ibrahim says:

    Salam..
    Apa hukumnya seorang ibu membuat keputusan untuk menjual harta (tanah) yang di dalamnya ada bahagian anak yatim, dan bahagian si anak (yatim) hasil dari jualan itu di simpan oleh si ibu sebagai pemegang amanah dan akan diserahkan kepada si anak (yatim) setelah dia dewasa. Dalam ertikata lain, bolehkah si ibu sebagai pemegang amanah “menukar” rupabentuk harta itu dari sebidang tanah kepada bentuk wang tanpa merujuk atau mendapat persetujuan si anak (yatim).

  2. Ping-balik: Memahami Pengelolaan Harta Anak Yatim | Catatan Abu Iram

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: