Agungnya Istigatsah Kepada Allah

Ustadz Abdullah Taslim. MA

Berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala adalah dua bentuk ibadah yang sangat dekat dengan keseharian manusia, khususnya hamba-hamba Allah yang shaleh dan dekat dengan-Nya. Merekalah orang-orang yang mampu merealisasikan dengan sempurna penghambaan diri yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala, yang tersimpul dalam firman-Nya:

{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS al-Faatihah:5).

Imam Ibu Katsir rahimahullah berkata: “(Mengamalkan kandungan ayat) ini adalah kesempurnaan taat (kepada Allah Ta’ala), bahkan (inti) agama Islam seluruhnya kembali kepada dua makna ini (beribadah dan meminta pertolongan kepada-Nya), sebagaimana ucapan salah seorang ulama salaf: “Surat al-Faatihah adalah rahasia (inti kandungan) al-Qur’an dan rahasia (inti kandungan) al-Faatihah adalah kalimat (ayat) ini”[1].

Termasuk bentuk doa dan meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala adalah ibadah agung yang kita kenal dengan nama istigatsah kepada Allah Ta’ala. Ibadah ini termasuk amal shaleh yang paling utama dan mulia di sisi Allah Ta’ala[2].

Pengertian istigatsah dan perbedaannya dengan doa

Menurut para ahli bahasa Arab istigatsah termasuk dari jenis-jenis an-nida’ (panggilan/seruan), yang secara bahasa berarti: meminta kepada pihak yang diseru untuk menghilangkan kesulitan orang lain[3].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “ Istigatsah artinya meminta al-gauts yang berarti menghilangkan kesusahan, sama dengan (kata) al-istinshaar artinya meminta bantuan dan al-isti’aanah artinya meminta pertolongan”[4].

Imam Ibnu Jariri ath-Thabari rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala:

{إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لكم}

“(Ingatlah), ketika kalian beristigatsah kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu” (QS al-Anfaal: 9).

Beliau berkata: “Artinya: kalian meminta pertolongan kepada-Nya dari musuh-musuh kalian (orang-orang kafir) dan berdoa kepada-Nya agar kalian mengalahkan mereka”[5].

Adapun perbedaan antara istigatsah dengan doa adalah: bahwa istigatsah hanya dikhusukan pada permohonan dalam keadaan sulit dan susah, sedangkan doa lebih umum, karena bisa dilakukan dalam kondisi susah maupun kondisi lainnya. Oleh karena itu, semua bentuk istigatsah adalah temasuk doa, tapi tidak semua doa adalah istigatsah[6].

Dalil-dalil istigatsah dan hukumnya dalam Islam.

Allah Ta’ala berfirman:

{أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ}

“Atau siapakah yang memperkenankan (permohonan) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengambil peringatan” (QS an-Naml: 62).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memperingatkan bahwa Dialah (satu-satunya) yang diseru ketika (timbul) berbagai macam kesusahan, dan Dialah yang diharapkan (pertolongan-Nya) ketika (terjadi) berbagai macam malapetaka, sebagaimana firman-Nya:

{وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلا إِيَّاهُ}

“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, maka hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Allah” (QS al-Israa’: 67). Dan firman-Nya:

{ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ}

“Kemudian bila kamu ditimpa bencana, maka hanya kepada-Nyalah kamu memohon pertolongan” (QS an-Nahl: 53)”[7].

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman:

{وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَلا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ}

“Jika Allah menimpakan suatu kesulitan kepadamu, maka tidak ada yang (mampu) menghilangkannya selain Dia sendiri. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya” (QS Yuunus: 107).

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata: “(Arti ayat ini): Allah Ta’ala berfirman kepada nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika Allah menimpakan kepadamu kesusahan atau bencana, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali (Allah Ta’ala) Rabbmu (Tuhanmu) yang telah menimpakannya kepadamu, dan bukanlah sembahan-sembahan dan tandingan-tandingan lain (selain Allah Ta’ala) yang disembah oleh orang-orang musyrik itu (yang mampu menghilangkannya)”[8].

Semua ayat di atas menunjukkan bahwa istigatsah adalah termasuk ibadah yang paling agung dan mulia, yang hanya layak ditujukan kepada Allah Ta’ala semata-mata. Sehingga menujukannya kepada selainnya Allah Ta’ala adalah termasuk perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam (menjadi kafir).

Allah Ta’ala menyatakan hukum ini dengan tegas dalam firman-Nya:

{وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ}

“Dan janganlah kamu menyeru (memohon) kepada sembahan-sembahan selain Allah yang tidak mampu memberikan manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim (musyrik)” (QS Yuunus: 106).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “(Dalam ayat ini) zhalim yang dimaksud adalah syirik, sebagaimana firman-Nya Ta’ala:

{إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}

“Sesungguhnya (perbuatan) syirik (mempersekutukan Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar” (QS Luqmaan: 13).

Maka kalau sebaik-sebaik manusia (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), seandainya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kepada selain Allah bersama-Nya, niscaya beliau termasuk orang-orang yang zhalim dan musyrik, maka bagaimana lagi dengan orang selain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam? (tentu lebih besar lagi dosanya)”[9].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Termasuk jenis-jenis kesyirikan yaitu meminta (pemenuhan) hajat dari orang-orang mati (yang dianggap sebagai wali), beristigatsah dan menghadapkan diri kepada mereka. Inilah pangkal kesyirikan (yang terjadi) di alam semesta. Orang yang telah mati telah terputus amal perbuatannya dan dia tidak memiliki (kemampuan untuk memberi) manfaat maupun (mencegah) keburukan bagi dirinya sendiri, apalagi bagi orang (lain) yang beristigatsah kepadanya atau meminta (pemenuhan) hajat kepadanya?”[10].

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah mencantumkan hal ini dalam “Kitab at-Tauhid”[11] pada bab khusus: “Termasuk (perbuatan) syirik (mempersekutukan Allah) adalah melakukan istigatsah kepada selain-Nya atau menyeru (memohon) kepada selain-Nya”.

Macam-macam bentuk istigatsah

Secara garis besar istigatsah terbagi menjadi dua macam[12]:

1. Istigatsah masyruu’ah (istigatsah yang disyariatkan dalam agama Islam), ini ada dua macam bentuknya:

a- Istigatsah kepada Allah Ta’ala, inilah istigatsah yang diperintahkan dalam Islam. Tidak ada yang dapat menghilangkan kesusahan secara mutlak kecuali Allah Ta’ala satu-satunya, dan semua pertolongan yang datang kepada manusia adalah dari sisi-Nya.

Allah Ta’ala berfirman tentang istigatsah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhu pada malam hari sebelum perang Badr:

{إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلائِكَةِ مُرْدِفِينَ}

“(Ingatlah), ketika kamu beristigatsah kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang bertutut-turut” (QS al-Anfaal: 9)[13].

Syaikh Muhamad bin Shaleh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Istigatsah kepada Allah Ta’ala termasuk amal shaleh yang paling utama dan paling sempurna (pahalanya), dan merupakan kebiasaan para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikut mereka”[14].

b- Istigatsah kepada orang yang masih hidup dan ada di hadapan kita, dalam hal-hal yang mampu dilakukan oleh manusia pada umumnya, maka ini diperbolehkan, sebagaimana diperbolehkan meminta pertolongan kepada mereka dalam hal-hal tersebut[15].

Allah Ta’ala berfirman tentang kisah Nabi Musa ‘alaihis salam:

{وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلانِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُضِلٌّ مُبِين}

“Dan Musa masuk ke kota ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya beristigatsah (meminta pertolongan) kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya, lalu Musa meninjunya, dan matilah orang itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya)” (QS al-Qashash: 15).

Dalam ayat ini orang dari kalangan Bani Israil tersebut beristigatsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Musa ‘alaihis salam dalam hal yang mampu dilakukan Nabi Musa ‘alaihis salam, dan ini tidak bertentangan dengan kesempurnaan tauhid[16].

Akan tetapi, perlu diingatkan di sini, bahwa ketika kita meminta pertolongan kepada seseorang dalam hal yang mampu dilakukannya maka dalam rangkan menjaga kesempurnaan tauhid, wajib kita meyakini pertolongan orang tersebut hanyalah sebab semata, dan tidak memiliki pengaruh secara langsung dalam menghilangkan kesulitan yang kita alami, karena yang mampu melakukan semua ini hanyalah Allah Ta’ala semata. Karena jangan sampai kita bersandar kepada orang tersebut dan melupakan Allah Ta’ala yang menciptkan semua sebab, yang ini semua akan merusak kesempurnaan tauhid kita[17].

2. Istigatsah mamnuu’ah (istigatsah yang dilarang/diharamkan dalam agama Islam), ini juga ada dua macam bentuknya:

a- Istigatsah kepada orang yang masih hidup atau orang yang sudah mati dan tidak ada di hadapan kita, dalam hal-hal yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah Ta’ala, seperti memberi rezki, keselamatan, menyembuhkan penyakit, menolak bencana dan lain-lain. Ini adalah perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya murtad (keluar dari agama Islam). Karena mereka yang melakukan perbuatan ini meyakini bahwa orang yang mereka mintai pertolongan tersebut memiliki kemampuan tersembunyi (gaib) untuk mempengaruhi dan mengatur kejadian di alam semesta ini, padahal ini adalah milik khusus Allah Ta’ala semata-mata. Sehingga dengan ini mereka telah memberikan sebagian dari sifat-sifat rububiyyah Allah Ta’ala (mengatur dan menguasai alam semesta) kepada selain-Nya dan ini adalah perbuatan syirik. Allah Ta’ala berfirman:

{أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ}

“Atau siapakah yang memperkenankan (permohonan) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengambil peringatan” (QS an-Naml: 62)[18].

b- Istigatsah kepada orang yang masih hidup dan ada di hadapan kita, tapi dia tidak mampu memberikan pertolongan., tanpa meyakini bahwa orang tersebut memiliki kekuatan yang tersembunyi (gaib). Misalnya: orang yang akan tenggelam meminta pertolongan kepada seorang yang lumpuh dan tidak bisa bergerak sama sekali. Ini adalah perbuatan sia-sia dan pelecehan terhadap orang yang dimintai pertolongan, maka dengan sebab ini perbuatan tersebut dilarang dalam Islam. Ada juga sebab lain, yaitu dikhawatirkan timbul keyakinan rusak bahwa orang yang dimintai pertolongan tersebut memiliki kekuatan yang tersembunyi (gaib) untuk menyelamatkan orang lain dari bahaya[19].

Kembalilah kepada Allah Ta’ala !

Allah Ta’ala Dialah satu-satunya yang menciptakan, menguasai dan mengatur alam semesta beserta isinya, Dialah semata-mata yang mampu memberikan manfaat dan menghilangkan bahaya serta kesulitan, tidak ada yang mampu melakukan semua itu kecuali Dia semata dan tiada sekutu bagi-Nya.

Maka seharusnya, hanya Dialah satu-satunya tempat memohon, meminta pertolongan dan mengadukan segala kesusahan[20].

Allah Ta’ala berfirman:

{وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَلا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ}

“Jika Allah menimpakan suatu kesulitan kepadamu, maka tidak ada yang (mampu) menghilangkannya selain Dia sendiri. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya” (QS Yuunus: 107).

Dan alangkah buruk dan sesat orang yang memalingkan semua itu kepada selain Allah Ta’ala:

{وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ}

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang memohon (pertolongan) kepada (sembahan-sembahan) selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doanya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka. (QS. 46:5)

Maka kembalilah kepada Allah Ta’ala dengan menyandarkan semua urusan kita, meminta pertolongan dan keselamatan dari semua kesusahan kepada-Nya semata. Inilah satu-satunya cara untuk meraih kebahagiaan dan ketenangan hidup.

Allah Ta’ala berfirman:

{فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ. وَلا تَجْعَلُوا مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ}

“Maka segeralah kamu berlari (kembali) kepada Allah, sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. Dan janganlah kamu menjadikan sembahan yang lain di samping Allah (berbuat syirik kepada-Nya), sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu” (QS adz-Dzaariyaat: 50-51).

Artinya: berlindunglah kepada-Nya dan bersandarlah kepada-Nya dalam semua urusanmu[21].

Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala mengungkapkan perintah untuk kembali kepadanya dengan firman-Nya: firru ilallah (berlarilah menuju/kepada Allah) karena adanya makna yang agung dan tinggi dalam ungkapan ini.

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata: “Allah menamakan (sikap) kembali kepada-Nya dengan al-firaar (berlari kepada-Nya), karena (sikap) kembali (bersandar) kepada selain Allah akan menimbulkan berbagai macam ketakutan dan kesusahan, (sebaliknya) kembali kepada Allah akan mendatangkan berbagai macam kemudahan, keamanan, kebahagiaan dan keberhasilan”[22].

Dan firman Allah Ta’ala selanjutnya: “Dan janganlah kamu menjadikan sembahan yang lain di samping Allah (berbuat syirik kepada-Nya)”, menunjukkan bahwa menjauhi perbuatan syirik adalah termasuk sikap kembali kepada Allah, bahkan ini adalah landasan utama kembali kepada-Nya, yaitu dengan meninggalkan semua yang disembah dan dimintai pertolongan selain Allah Ta’ala, serta memurnikan ibadah, rasa takut, barharap, berdoa dan meminta pertolongan semata-mata hanya kepada-Nya[23].

Penutup

Sebagai penutup renungkanlah nasehat Syaikh ‘Abdul Muhsin al-Qasim hafidhahullah[24] berikut ini: “Istigatsah kepada Allah Ta’ala mengandung (sikap) merasa butuh yang sempurna kepada Allah dan keyakinan (yang utuh) akan kecukupan dari-Nya, dan ini termasuk amal shaleh yang paling utama dan mulia. Seorang manusia dalam hidupnya selalu menghadapi berbagai macam bencana dan kesusahan, maka barangsiapa yang beristigatsah kepada Allah untuk menghilangkan segala kesusahan (yang menimpanya) maka sungguh dia telah menunaikan suatu ibadah besar yang biasa dilakukan oleh para Nabi ‘alaihis salam dan orang-orang yang shaleh ketika mereka menghadapi kesulitan, dan kemudian Allah menghilangkan kesulitan-kesulitan mereka”[25].

Demikianlah, semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk selalu menegakkan tauhid kepada-Nya dan menjauhi segala bentuk perbuatan syirik, yang besar maupun kecil, serta menjaga kita dari semua bencana yang merusak agama dan keyakinan kita, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 2 Dzulhijjah 1431 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

Catatan Kaki:

[1] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsir beliau (1/48).

[2] Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab “Syarhu tsalaatsatil ushuul ” (hal. 60).

[3] Lihat muqaddimah tahqiq kitab “al-Istigaatsatu fir raddi ‘alal Bakri” (hal. 41).

[4] Kitab “Majmuu’ul fataawa” (1/103).

[5] Kitab “Jaami’ul bayaan fi ta’wiilil Qur-an” (13/409).

[6] Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 200).

[7] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/492).

[8] Kitab “Jaami’ul bayaan fi ta’wiilil Qur-an” (15/219).

[9] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 375). Lihat juga kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit

tauhiid” (1/266) dan “at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid” (hal. 183).

[10] Kitab “Madaarijus saalikiin” (1/346).

[11] Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 200).

[12] Lihat muqaddimah tahqiq kitab “al-Istigaatsatu fir raddi ‘alal Bakri” (hal. 41-43).

[13] Ibid (hal. 41-42).

[14] Kitab “Syarhu tsalaatsatil ushuul” (hal. 60).

[15] Ibid (hal. 61).

[16] Lihat muqaddimah tahqiq kitab “al-Istigaatsatu fir raddi ‘alal Bakri” (hal. 42).

[17] Lihat keterangan Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab “al-Qaulul mufiid” (1/261).

[18] Lihat kitab “Syarhu tsalaatsatil ushuul” (hal. 61) dan muqaddimah tahqiq kitab “al-Istigaatsatu fir

raddi ‘alal Bakri” (hal. 43).

[19] Lihat kitab “Syarhu tsalaatsatil ushuul” (hal. 61).

[20] Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 206-207).

[21] Tafsir Ibnu Katsir (4/303).

[22] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 811).

[23] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 811).

[24] Beliau hafidhahullah adalah salah seorang imam dan khatib Mesjid Nabawi di Madinah saat ini.

[25] Kitab “Taisiirul wushuul” (hal. 98).

Tinggalkan komentar