Dzikir Penyubur Iman
24 Februari 2015 Tinggalkan komentar
Barangkali banyak di antara kaum muslimin yang menganggap biasa nilai berdzikir kepada Allah , berhubung amal shaleh ini sudah sering dan terbiasa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik setelah selesai shalat fardhu, sebelum dan sesudah makan atau tidur, di waktu pagi dan petang, maupun di waktu-waktu lainnya.
Tapi tahukah kita bahwa berdzikir kepada Allah memiliki keutamaan dan kemuliaan yang sangat agung, bahkan termasuk amal shaleh yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah ? Bahkan amal ini termasuk sebab utama yang menyuburkan keimanan kepada Allah dan menyempurnakan kedekatan dengan-Nya. Tentu saja jika amal shaleh ini dilakukan dengan benar dan sesuai dengan petunjuk Allah yang diturunkan-Nya kepada Rasulullah .
Cukuplah firman Allah berikut yang menunjukkan besarnya keutamaan berdzikir kepada Allah ,
{الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ}
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS ar-Ra’du:28).
Artinya: dengan berzikir kepada Allah segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan. Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih besar pengaruhnya dalam mendatangkan ketenteraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi berzikir kepada Allah [1].
Inilah makna yang terungkap dalm ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “(Kedudukan) berdzikir kepada Allah bagi hati manusia seperti air bagi ikan, bagaimanakah keadaan ikan ketika terpisah dari air?”[2].
Oleh karena itu, berusaha memahami makna dzikir yang benar dan memperbaiki amalan dzikir yang sudah kita lakukan merupakan perkara yang sangat penting, agar kita bisa meraih keutamaan besar dan sempurna dari amal shaleh yang sudah terbiasa kita lakukan ini, dengan izin Allah .
Makna dan hakikat dzikir
Berdzikir kepada Allah adalah menyebut nama Allah dengan mengagungkan kebesaran dan kemuliaan-Nya, dengan ucapan lisan disertai perenungan dalam hati tentang makna ucapan dzikir tersebut. Maka ini termasuk bertasbih (menyucikan Allah dengan ucapan subhanallah), bertahmid (memuji dan menyanjung-Nya dengan ucapan alhamdulillah), bertakbir (mengagungkan-Nya dengan ucapan Allahu akbar), bertahlil (mentauhidkan/mengesakan-Nya dengan ucapan laa ilaaha illallah). Juga termasuk melakukan shalat, membaca al-Qur’an, mempelajari ilmu agama, berdo’a dengan menyebut nama-nama Allah yang maha indah atau sifat-sifat-Nya yang maha tinggi[3].
Oleh karena itu, para ulama ahli tafsir, ketika menjelaskan makna ‘berdzikir kepada Allah’ dalam firman-Nya:
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ}
“laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS an-Nuur:37).
Mereka meyebutkan tiga makna, yaitu shalat wajib lima waktu, menunaikan hak-hak Allah (beribadah kepada-Nya) dan menyebut nama-Nya dengan lisan (lidah).
Imam Ibnul Jauzi berkata: “Yang dimaksud dengan ‘berdzikir kepada Allah’ (dalam ayat ini) ada tiga pendapat:
1- Shalat (lima waktu) yang wajib, ini pendapat Ibnu ‘Abbas dan ‘Atha’.
2- Menunaikan hak-hak Allah, ini pendapat Qatadah.
3- Menyebut nama Allah dengan lisan, ini pendapat Abu Sulaiman ad-Dimasyqi”[4].
Adapun hakikat berdzikir kepada Allah adalah menjauhi sifat lalai dan lupa kepada-Nya dengan selalu menghadirkan keagungan dan kemuliaan-Nya dalam hati[5].
Imam al-Qurthubi berkata: “Asal (makna) berdzikir adalah kesadaran dan ingatan dalam hati kepada-Nya. Dan berdzikir dengan lisan dinamakan dengan ‘dzikir’ karena itu menunjukkan dzikir yang terdapat dalam hati”[6].
Maka berdasarkan keterangan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ‘berdzikir kepada Allah ’ yang benar dan diridhai-Nya adalah berdzikir dengan lisan (lidah) menyebut kebesaran dan keagungan Allah disertai perenungan dan penghayatan dalam hati tentang makna dzikir tersebut.
Inilah makna berdzikir yang diterangkan para ulama ketika menjelaskan makna hadits-hadits Rasulullah tentang keutamaan berdzikir[7].
Misalnya, hadits Rasulullah yang sangat populer, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan (Arsy)-Nya pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya (hari kiamat): …Dan seorang yang berdzikir kepada Allah ketika sendirian lalu menetes air matanya (karena takut kepada-Nya)”[8].
Artinya, ketika hamba ini seorang diri berdzikir kepada Allah disertai perenungan dalam hatinya tentang kemahabesaran, kemahaagungan dan kemahakuasaan-Nya, maka hatinyapun diliputi rasa takut dan tunduk kepada-Nya, sehingga dia menangis dan meneteskan air mata[9].
Adapun berdzikir hanya dengan lisan tanpa perenungan dalam hati atau dengan hati yang lalai dari menghayati makna kebesaran dan keagungan Allah , maka ini bukanlah dzikir yang dipuji di sisi Allah , bahkan bertentangan dengan hakikat dan maksud utama disyariatkannya berdzikir kepada Allah , yaitu menjauhi kelalaian hati dari mengingat kebesaran dan keagungan Allah dalam segala bentuknya.
Makna ini dinyatakan dengan jelas dalam firman-Nya:
{وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا}
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari berdzikir (mengingat) Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melampaui batas (rusak dan buruk)” (QS al-Kahfi: 28).
Kelalaian hati dari berdzikir kepada Allah inilah yang menjadikan hati tertutup dan terkunci sehingga tidak bisa menerima kebenaran, kemudian menjadikan keadaan orang tersebut semuanya buruk dan rusak[10].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Semua (keburukan dan kesesatan) bersumber dari kelalaian hati dan memperturutkan hawa nafsu, karena dua sifat buruk inilah yang memadamkan cahaya dan membutakan mata hati”[11].
Inilah cara berdzikir yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para Shahabat beliau , dan inilah dzikir yang dijanjikan bagi orang yang mengerjakannya pahala dan keutamaan yang besar di sisi Allah .
Dalam hadits yang shahih, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan , bahwa Rasulullah suatu hari keluar menemui para Shahabat yang sedang duduk bermajlis, lalu beliau bersabda: “Apa yang menyebabkan kalian duduk bermajlis (di sini)?”. Merekapun menjawab: Kami duduk bermajlis untuk berdzikir kepada Allah serta memuji-Nya atas limpahan hidayah dan karunia Islam kepada kami. Rasulullah bertanya lagi: “Apakah (kalian mau bersumpah) demi Allah bahwa tidak ada sebab lain kalian duduk bermajlis kecuali (alasan) itu?”. Para Shahabat menjawab: Demi Allah, tidak ada sebab lain kami duduk bermajlis kecuali (alasan) itu. Kemudian Rasulullah bersabda: “Ketahuilah, sungguh aku meminta kalian bersumpah bukan karena menuduh kalian (berdusta), akan tetapi sungguh (Malaikat) Jibril u (tadi) datang kepadaku dan menyampaikan bahwa Allah membanggakan kalian di hadapan para Malaikat”[12].
Oleh karena itu, dzikir kepada Allah yang paling utama dan paling besar manfaatnya dalam menumbuhkan keimanan adalah mengucapkan lafazh dzikir yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah dengan lisan disertai penghayatan dan perenungan dalam hati.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Dzikir yang paling utama dan paling besar manfaatnya adalah dzikir yang bersesuaian (antara) hati dan lisan ketika mengucapkannya, dengan (lafazh) dzikir (yang bersumber) dari sunnah Rasulullah , disertai penghayatan dan perenungan terhadap kandungan dan maksud dari (ucapan) dzikir tersebut”[13].
Beliau juga berkata: “Berdzikir dengan hati inilah yang membuahkan ma’rifatullah (mengenal kebesaran dan keagungan Allah ), membangkitkan rasa cinta (kepada-Nya), menumbuhkan rasa malu, takut dan muraaqabatullah (selalu merasakan pengawasan-Nya), serta mencegah dari kemalasan dalam menunaikan ketaatan (kepada-Nya) dan meremehkan perbuatan dosa dan maksiat”[14].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Berdzikir kepada Allah yang paling utama adalah yang bersesuaian antara (ucapan) lisan dan (perenungan) hati, inilah dzikir yang akan membuahkan ma’rifatullah (mengenal kebesaran dan keagungan Allah ), kecintaan kepada-Nya dan pahala yang berlipat ganda”[15].
Keutamaan berdzikir kepada Allah
Allah berfirman:
{فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ}
“Karena itu, berdzikirlah (ingatlah) kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu kufur kepada-Ku” (QS al-Baqarah: 152).
Ayat yang mulia ini menunjukkan keutamaan yang sangat besar bagi seorang hamba yang berdzikir kepada Allah dengan benar, karena Dia akan menganugerahkan sebaik-baik balasan baginya, yaitu Allah akan selalu menyebut/mengingat hamba tersebut, yang ini berarti Dia akan selalu melimpahkan rahmat, kebaikan dan pengampunan-Nya kepadanya[16].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Seandainya tidak ada keutamaan berdzikir kepada Allah kecuali keutamaan yang disebutkan dalam ayat ini saja maka cukuplah ini sebagai keutamaan dan kemuliaan”[17].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan untuk berdzikir kepada-Nya dan menjanjikan seutama-utama ganjaran pahala bagi orang yang melakukannya, yaitu Dia akan selalu menyebut/mengingat orang yang berdzikir kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya melalui lisan Rasul-Nya (hadits qudsi): “Barangsiapa yang berdzikir kepada-Ku pada dirinya maka Aku akan menyebut/mengingatnya pada diri-Ku, dan barangsiapa yang berdzikir kepada-Ku dalam sebuah kelompok maka Aku akan menyebut/mengingatnya dalam kelompok (para Malaikat yang mulia u) yang lebih baik dari kelompoknya”[18]…Berdzikir kepada Allah adalah puncak dari bersyukur kepada-Nya. Oleh karena itu, (dalam ayat ini) Allah memerintahkan untuk berdzikir secara khusus, kemudian setelah itu Dia memerintahkan untuk bersyukur secara umum”[19].
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah bersabda tentang keutamaan berdzikir yang sangat besar bahkan lebih mulia dari banyak amal shaleh lainnya:
عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ : « أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ »، قَالُوا: بَلَى. قَالَ : « ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى » صحيح رواه الترمذي وابن ماجه وغيره.
Dari Abu Darda’ bahwa Rasulullah bersabda: “Apakah kalian mau aku sampikan tentang amal shaleh yang terbaik, yang paling suci (mulia) di sisi (Allah ) Yang Maha Kuasa, yang paling meninggikan kedudukan kalian (di Surga nanti), dan amal itu lebih utama bagi kalian daripada bersedekah dengan emas dan perak, serta lebih baik daripada kalian bertemu dengan musuh (di medan jihad) lalu kalian memenggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian?”. Para Shahabat menjawab: Iya kami mau, (wahai Rasulullah). Lalu Rasulullah bersabda: “(Amal shaleh itu adalah) berdzikir kepada Allah ”[20].
Hadist ini menunjukkan keutamaan berdzikir kepada Allah yang sangat agung, karena Rasulullah menegaskan bahwa amal ini lebih mulia dan utama dari pada amal-amal besar lainnya dalam Islam, seperti berjihad dan bersedekah di jalan Allah .
Tentu saja yang dimaksud dengan berdzikir dalam hadits ini adalah dzikir yang sempurna, yaitu dzikir yang diucapkan dengan lisan dan disertai perenungan dalam hati.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan berdzikir kepada Allah dalam hadits Abu Darda’ di atas adalah dzikir yang sempurna, yaitu dzikir yang terhimpun padanya ucapan lisan dan perenungan dalam hati tentang makna (kandungan dzikir tersebut) serta menghadirkan keagungan Allah ”[21].
Imam al-Munawi menjelaskan segi lain dari makna hadits ini, yaitu mengapa berdzikir kepada Allah lebih mulia dan utama dari pada amal-amal tersebut? Beliau berkata: “Karena semua ibadah (yang disyariatkan dalam Islam), seperti berinfak (bersedekah), berjihad melawan musuh, dan sarana-sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah (lainnya), tujuan tertinggi (dari semua badah tersebut) adalah berdzikir kepada Allah”[22].
Imam Ibnul Qayyim lebih memperjelas hal ini dalam ucapan beliau: “Sesungguhnya semua amal (dalam Islam) disyariatkan hanya untuk menegakkan dzikir kepada Allah dan tujuan dari amal-amal tersebut adalah untuk mewujudkan dzikir kepada Allah . Allah berfirman:
{وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي}
“Dan dirikanlah shalat untuk berdzikir (mengingat)-Ku” (QS Thaahaa: 14) [23].
Demikian pula dalam ayat tentang berjihad melawan musuh, Allah berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu (berjihad) memerangi pasukan (musuh), maka teguhkanlah (hatimu) dan berdzikirlah (sebutlah/ingatlah) kepada Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung” (QS al-Anfaal: 45).
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Berjihad (Di jalan Allah) disyariatkan hanyalah untuk berdzikir kepada Allah, maka tujuan dari berjihad adalah untuk berdzikir kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya semata-mata, karena bertauhid, berdzikir dan beribadah kepada Allah (semata-semata) inilah tujuan penciptaan semua makhluk”[24].
Bahkan dalam shalat yang merupakan ibadah yang paling agung dalam Islam, tujuan untuk berdzikir kepada Allah lebih besar dari tujuan-tujuan yang lain. Allah berfirman:
{اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ}
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya berdzikir kepada Allah adalah lebih besar (dibandingkan dengan yang lain)” (QS al-‘Ankabuut: 45).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “(Pendapat) yang benar tentang makna ayat ini: sesungguhnya shalat di dalamnya terdapat dua tujuan agung, yang satu lebih agung dari yang lain:
1. Sesungguhnya shalat mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar
2. Shalat itu mengandung dzikir kepada Allah .
Dan dzikir kepada Allah yang dikandungnya lebih agung dibandingkan dengan (tujuannya untuk) mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar”[25].
Disamping itu, ada keutamaan besar dzikir kepada Allah yang berhubungan dengan pengabulan do’a seorang hamba. Imam Ibnul Qayyim berkata: “Inilah faidah lain di antara faidah-faidah berdzikir dan memuji Allah . Maka do’a yang yang dibuka dengan berdzikir dan memuji Allah lebih utama dan dekat dengan pengabulan dibandingkan dengan do’a yang tidak disertai (dzikir dan pujian kepada-Nya).
Kemudian jika ditambahkan dalam pembukaan do’a itu penyebutan dan pengakuan hamba tersebut akan keadaannya serta kebutuhan dan ketergantungannya (kepada Allah), maka ini lebih utama dan dekat dengan pengabulan.
Karena dengan (menghimpun dua hal) ini, berarti hamba ini telah bertawassul (melakukan sebab yang diridhai Allah ) kepada Dzat tempat dia memohon (Allah ) dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, agungnya kebaikan dan karunia-Nya. Kemudian hamba tersebut menyebutkan bahkan mengakui kekurangan, kebutuhan dan ketergantungannya yang sangat besar (kepada Allah ), yang ini merupakan konsekwensi dari (keadaan) hamba, sedangkan (penyebutan) sifat-sifat (kesempurnaan) Allah (dalam dzikir dan pujian kepada-Nya) adalah konsekwensi dari (kemahaagungan)-Nya.
Maka terhimpunlah dalam do’a ini konsekwensi dari (keadaan hamba) yang memohon dan konsekwensi dari (kemahaagungan sifat-sifat)-Nya, sehingga jadilah do’a ini sebagai do’a yang paling dekat dengan pengabulan dan paling baik keadaannya, sekaligus paling sempurna dalam (mewujudkan) ma’rifatullah (mengenal kemahaagungan dan kemahatinggian-Nya) dan penghambaan diri (kepada-Nya)”[26].
Dzikir sebagai penyubur iman dan surga dunia yang hakiki
Dalil-dalil yang kami sebutkan di atas tentang keutamaan dan kemuliaan berdzikir kepada Allah jelas sekali menunjukkan keterikatan dzikir dengan iman kepada Allah , bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa berdzikir kepada Allah adalah termasuk sebab penyubur iman kepada Allah yang paling besar.
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Sesungguhnya berdzikir kepada Allah akan menumbuhkan, menyuburkan dan menguatkan pohon iman dalam hati. Setiap kali seorang hamba bertambah dzikirnya kepada Allah maka imannya semakin kuat, sebagaimana iman (yang benar) akan memotivasi untuk banyak berdzikir kepada Allah”[27].
Renungkanlah hadits Rasulullah berikut;
Dari Abu Musa al-Asy’ari bahwa Rasulullah bersabda: “Perumpaan orang yang berdzikir kepada Allah dan orang yang tidak berdzikir kepada-Nya adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati”[28].
Hadits ini menunjukkan bahwa berdzikir kepada Allah adalah sebab yang menjadikan hati manusia hidup, sedangkan lalai dari berdzikir merupakan sebab yang menjadikan hati manusia mati[29].
Hati yang hidup karena selalu berdzikir kepada Allah inilah hati yang bisa mengambil manfaat dari bacaan al-Qur’an yang merupakan penumbuh dan penguat iman yang paling utama. Allah berfirman:
{إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ}
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan (pelajaran) bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang mengkonsentrasikan pendengarannya, sedang dia menghadirkan (hati)nya” (QS Qaaf:37).
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Yang dimaksud dengan hati (yang bisa mengambil manfaat dari bacaan al-Qur’an) adalah hati yang hidup,sehingga bisa memahami (peringatan) dari Allah, sebagaimana (yang disebutkan dalam) firman-Nya:
{إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ. لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ}
“Al Qur-an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad ) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)” (QS Yaasiin: 69)[30].
Oleh karena itu, orang-orang yang hati mereka hidup dengan iman kepada Allah , mereka inilah yang akan bertambah kuat dan sempurna keimanan dan kebaikan dalam diri mereka setiap kali mereka mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang merupakan bentuk dzikir kepada Allah yang paling agung. Sebagaimana firman-Nya:
{إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ}
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan hanya kepada Allah mereka bertawakkal” (QS al-Anfaal: 2).
Maka orang yang beriman dengan benar adalah orang yang ketika berdzikir kepada Allah hatinya menjadi takut dan tunduk kepada-Nya, yang semua itu menjadikannya selalu menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya. Karena bukti terbesar rasa takut yang benar kepada Allah adalah menjadikan orang tersebut menjauhi perbuatan dosa dan maksiat.
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah iman mereka”. Hal ini dikarenakan orang yang beriman ketika mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Qur’an, dia benar-benar mendengarkannya dengan seksama dan menghadirkan hatinya untuk merenungkan kandungannya, maka ketika itulah imannya bertambah dan semakin kuat. Karena dengan merenungkan kandungannya dia akan mendapatkan penjelasan hal-hal yang tidak diketahuinya sebelumnya, mengingatkan akan kelalaiannya, menumbuhkan motivasi kebaikan dalam dirinya, semangat untuk mengejar kemuliaan di sisi Allah dan rasa takut terhadap siksaan-Nya, semua perkara ini akan menumbuhkan dan menyempurnakan keimanannya”[31].
Imam al-Bagawi menukil ucapan shahabat yang mulia ‘Umair bin Habib al-Anshari yang berkata: “Sesungguhnya iman itu bisa bertambah dan berkurang”. Lalu ada yang bertanya: Bagaimanakah bertambahnya? Beliau menjawab: “ketika kita berdzikir kepada Allah dan memuji-Nya maka itulah (saat) bertambahnya iman, tapi ketika kita lupa dan lalai (dari berdzikir kepada-Nya) maka itulah (saat) berkurangnya iman”[32].
Kemudian, iman kepada Allah akan terus tumbuh dan bertambah kuat dengan berdzikir kepada Allah , membaca ayat-ayat al-Qur’an dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya. Ini semua jika dilakukan terus menerus maka lambat laun akan menjadikan iman seorang hamba menjadi sempurna, yang wujudnya berupa kemanisan dan kelezatan yang dirasakan dalam hatinya ketika dia berdzikir, membaca al-Qur’an dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya. Sebagaimana makna ini yang ditunjukkan dalam beberapa hadits yang shahih;
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda: “Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman): menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allah, dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api”[33].
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda: “Akan merasakan kelezatan/kenikmatan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya”[34].
Kemanisan dan kelezatan iman inilah yang disebut oleh para ulama Ahlus sunnah sebagai ‘kenikmatan tertinggi di dunia’ atau ‘surga dunia yang hakiki’.
Salah seorang di antara mereka ada yang berkata: “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”, maka ada yang bertanya: “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?”. Ulama ini menjawab: “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya”[35].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga pernah berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti” [36].
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan hal ini dalam penuturan beliau: “Cinta kepada Allah , mengenal-Nya (dengan memahami kandungan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna), selalu berzikir kepada-Nya, merasa tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, mengesakan-Nya dalam mencintai, takut, berharap, berserah diri dan mendekatkan diri (kepada-Nya), dengan menjadikan semua itu satu-satunya yang menguasai pikiran, tekad dan keinginan seorang hamba, inilah surga dunia (yang sebenarnya) dan kenikmatan yang tiada taranya (jika dibandingkan dengan) kenikmatan (dunia). Inilah penyejuk hati hamba-hamba yang mencintai (Allah ) dan (kebahagiaan) hidup orang-orang yang mengenal-Nya”[37].
Itulah sebabnya, mengapa Rasulullah menyebut halaqah dzikir (kumpulan orang yang berdzikir kepada Allah ) sebagai ‘taman surga’, sebagaimana sabda beliau :
“Jika kalian melewati taman-taman surga maka bersenang-senanglah (di dalamnya)”. Para shahabat bertanya: Apakah taman-taman surga itu? Rasulullah bersabda: “(Itulah) halaqah dzikir (kumpulan orang yang berdzikir kepada Allah )”[38].
Makna ini juga yang terungkap dalam hadits shahih lainnya, dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda: “Tidaklah sekelompok orang duduk untuk berdzikir kepada Allah , kecuali para Malaikat akan mengelilingi mereka, rahmat (Allah ) meliputi mereka, ketenangan akan turun kepada mereka dan Allah akan membanggakan mereka di (hadapan) para Malaikat yang dekat dengan-Nya”[39].
Dzikir sebagai sebab keselamatan dari azab dan bencana di akhirat
Dari Abu Darda’ bahwa Rasulullah bersabda: “Tidaklah seorang manusia mengamalkan suatau amal (shaleh) yang lebih menyelamatkan dirinya dari azab Allah melebihi berdzikir kepada Allah”[40].
Dalam hadits shahih lainnya, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan (Arsy)-Nya pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya (hari kiamat): …Dan seorang yang berdzikir kepada Allah ketika sendirian lalu menetes air matanya (karena takut kepada Allah)”[41].
Dua hadits yang agung di atas menunjukkan bahwa berdzikir kepada Allah merupakan salah sebab utama yang akan menyelamatkan seorang hamba dari azab Allah dan bencana pada hari kiamat. Hal ini dikarenakan berdzikir kepada Allah merupakan sebab utama pembelaan dan penjagaan dari Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman dari segala keburukan dan bencana di dunia dan akhirat. Allah berfirman:
{إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا}
“Sesungguhnya Allah membela/melindungi orang-orang yang beriman” (QS al-Hajj: 38).
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang lebih bisa mendatangkan berbagai macam nikmat dari Allah dan menolak berbagai macam siksaan-Nya seperti berdzikir kepada-Nya, karena berdzikir kepada Allah pengundang nikmat Allah dan penolak azab-Nya. Allah berfirman:
{إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا}
“Sesungguhnya Allah membela/melindungi orang-orang yang beriman” (QS al-Hajj: 38).
Maka pembelaan dan penjagaan Allah terhadap orang-orang yang beriman adalah sesuai dengan kekuatan dan kesempurnaan iman mereka. Unsur yang menumbuhkan dan menguatkan iman adalah berdzikir kepada Allah , sehingga barangsiapa yang imannya lebih sempurna dan dzikirnya lebih banyak maka pembelaan dan penjagaan Allah terhadapnya lebih besar, dan (sebaliknya) barangsiapa yang kurang (dalam berdzikir kepada Allah ) maka pembelaan dan penjagaan Allah terhadapnya juga berkurang”[42].
Meraih kedekatan dan kebersamaan Allah yang khusus
Imam Ibnul Qayyim, ketika menjelaskan salah satu keutamaan besar berdzikir kepada Allah , berdasarkan sabda Rasulullah bahwa Allah berfirman: “Aku bersama hamba-Ku ketika dia berdzikir kepada-ku dan kedua bibirnya bergerak dengan (menyebut dan mengagungkan kebesaran)-Ku”[43].
Beliau berkata: “Sesungguhnya orang yang berdzikir (kepada Allah) dekat dengan (Dzat) yang disebutnya (Allah ) dan Dia selalu ‘bersama’nya. Kebersamaan ini adalah kebersamaan yang khusus, berbeda dengan kebersamaan (dengan) pengetahuan dan pengawasan-Nya yang (bersifat) umum. Ini adalah kebersamaan (yang mengandung makna) kedekatan, perlindungan, kecintaan, pertolongan dan taufik… ‘Kebersamaan (khusus)’ yang dianugerahkan kepada orang yang berdzikir (kepada Allah ) adalah ‘kebersamaan’ yang tiada taranya. Kebersamaan ini lebih khusus dibandingkan dengan ‘kebersamaan’ yang didapatkan oleh orang yang berbuat ihsan dan orang yang bertakwa. Kebersamaan ini tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata dan tidak bisa dijelaskan sifatnya (karena kemuliaannya yang sangat tinggi), (karena) ini hanya bisa diketahui dengan merasakan (keindahan dan kenikmatannya)”[44].
Gambaran tentang agungnya keutamaan dan kemuliaan yang Allah berikan bagi hamba-hamba-Nya yang mendapatkan karunia ‘kedekatan’ dan ‘kebersamaan’-Nya yang khusus, dapat kita renungkan dari makna hadits di bawah ini;
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah mengumumkan peperangan kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal shaleh) yang lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya (dalam Islam), dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal tambahan (yang dianjurkan dalam Islam) sehingga Aku-pun mencintainya. Lalu jika Aku telah mencintai seorang hamba-Ku, maka Aku akan selalu membimbingnya dalam pendengarannya, membimbingnya dalam penglihatannya, menuntunnya dalam perbuatan tangannya dan meluruskannya dalam langkah kakinya. Jika dia memohon kepada-Ku maka Aku akan penuhi permohonannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan berikan perlindungan kepadanya”[45].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang menjadi wali Allah (kekasih Allah ), yaitu orang yang selalu menetapi dzikir yang benar, ketaatan dan ketakwaan kepada Allah , dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Allah menganugerahkan kepadanya kebersamaan-Nya yang khusus[46]yang mengandung arti pertolongan-Nya, taufik-Nya, penjagaan-Nya, dan perlindungan-Nya pada pendengaran, penglihatan, ucapan lisan, langkah kaki dan perbuatan semua anggota badannya lahir dan batin[47]. Sehingga mereka selalu berada di atas keridhaan-Nya dan terhindar dari segala keburukan[48].
Renungkanlah keutamaan dan kemuliaan besar ini! Tidaklah ini menambah semangat dan kesungguhan kita untuk berdzikir kepada Allah dengan benar, dalam semua keadaan guna meraih keutamaan besar tersebut?
Macam dan jenis dzikir
Para ulama menjelaskan jenis dan macam dzikir yang ternyata lebih luas dari makna dzikir yang dipahami oleh sebagian dari kaum muslimin. Maknanya lebih luas dari kalimat pujian dan sanjungan yang disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah , dan termasuk dzikir kepada Allah bahkan seutama-utama dzikir adalah membaca al-Qur’an[49].
Oleh karena itulah, Allah menamakan al-Qur’an sebagai adz-Dzikr dalam firman-Nya[50]:
{إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ}
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS al-Hijr: 9).
Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani ketika menguraikan makna dzikir secara luas, beliau berkata: “Yang dimaksud dengan berdzikir (kepada Allah ) adalah mengucapkan lafazh-lafazh yang disebutkan (dalam al-Qur’an dan sunnah) anjuran untuk mengucapkan dan memperbanyaknya, seperti… (ucapan) subhanallah (maha suci Allah), alhamdulillah (segala puji bagi Allah), laa ilaaha illallah (tidak ada sembahan yang benar selain Allah), Allahu akbar (Allah maha besar), dan yang semisal itu, seperti hauqalah (laa haula walaa quwwata illa billaah/tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah), basmalah (bismillah/dengan nama Allah), hasbalah (hasbiyallahu wa ni’mal wakiil/cukuplah Allah sebagai penolongku dan Dialah sebaik-baik pelindung), istigfar (memohon ampun kepada-Nya) dan lain-lain. Juga (termasuk) berdo’a (kepada Allah memohon) kebaikan dunia dan akhirat.
Juga termasuk konsisten dalam melakukan amal shaleh yang diwajibkan atau dianjurkan (dalam Islam), seperti membaca al-Qur’an, membaca hadits Rasulullah , mangkaji ilmu agama, dan melaksanakan shalat”[51].
Imam Ibnul Qayyim menyebutkan pembagian macam dan jenis dzikir dengan terperinci, yang kesimpulannya sebagai berikut[52]:
Secara umum, berdzikir kepada Allah terbagi menjadi dua jenis:
1- Berdzikir kepada Allah denagan menyebut nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi, memuji-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya tersebut, serta mensucikan-Nya dari hal-hal yang tidak sesuai dengan kemahaagungan-Nya.
2- Berdzikir kepada Allah dengan menyebut perintah, larangan dan hukum-hukum-Nya.
Kemudian masing-masing dari kedua jenis dzikir di atas terbagi menjadi dua macam, sehingga keseluruhannya ada empat macam:
- Berdzikir kepada-Nya dengan menyebutkan pujian dan sanjungan bagi-Nya. Dzikir inilah yang disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah , seperti subhanallah (maha suci Allah), alhamdulillah (segala puji bagi Allah), laa ilaaha illallah (tidak ada sembahan yang benar selain Allah), Allahu akbar (Allah maha besar), subhanallahi wabihamdih (maha suci Allah dan segala pujian bagi-Nya), laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahulhamdu wahuwa ‘ala kulli syai-in Qadiir (tiada sembahan yang benar kecuali Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian, dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu), dan lain-lain.
Yang paling utama dalam dzikir ini adalah dzikir yang paling luas dan umum cakupannya, seperti ucapan “subhanallah ‘adada khalqihi” (maha suci Allah sebanyak jumlah makhluk-Nya), ini lebih utama dari pada ucapan “subhanallah” saja.
Dalam hadits yang shahih dari istri Rasulullah , Juwairiyah bintu al-Harits bahwa Rasulullah bersabda kepadanya: “Setelah keluar dari rumahmu, sungguh aku telah mengucapkan empat kalimat (dzikir) tiga kali, yang kalau ditimbang dengan ucapan (dzikir)mu sejak hari ini (sejak subuh sampai waktu dhuha) maka sungguh (dzikir) yang aku ucapankan lebih berat dari pada yang kamu ucapkan, yaitu: “subhanallah (maha suci Allah) sebanyak jumlah makhluk-Nya, subhanallah (maha suci Allah) sesuai dengan keridhaan diri-Nya, subhanallah (maha suci Allah) seberat timbangan arsy-Nya, subhanallah (maha suci Allah) sebanyak tinta (untuk menuliskan) kalimat-kalimat-Nya”[53].
- Berdzikir kepada-Nya dengan mengabarkan tentang Allah dengan menjelaskan kemahaindahan nama-nama-Nya dan kemahatinggian sifat-sifat-Nya. Misalnya ucapan kita: Sesungguhnya Allah maha mendengar ucapan para hamba-Nya dan melihat semua pergerakan mereka, tidak ada satupun yang tersembunyi bagi-Nya dari perbuatan-perbuatan mereka. Sesungguhnya Dia lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya dari pada bapak dan ibu mereka sendiri. Sesungguhnya Dia maha kuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya Dia lebih gembira dengan bertaubatnya seorang hamba-Nya dibandingkan gembiranya seorang musafir yang kehilangan hewan tunggangan beserta semua perbekalannya di sebuah padang pasir yang luas dan tandus, kemudia dia menemukannya kembali setelah dia sudah berputus asa dan mengira kematiannya sudah sangat dekat, dan lain-lain yang semisalnya.
Yang paling utama dalam dzikir ini adalah memuji Allah dengan pujian dan sanjungan-Nya bagi diri-Nya (dalam al-Qur’an) dan pujian yang disampaikan Rasulullah bagi-Nya (dalam hadits-hadits yang shahih), tanpa at-tahrif (menyelewengkan makna yang benar dari sifat-sifat-Nya), tanpa at-ta’thil (menolak/mengingkarinya), tanpa at-tasybih (menyamakannya dengan mahluk-Nya) dan tanpa at-tamtsil (menyerupakannya dengan makhluk).
- Berdzikir kepada-Nya dengan mengabarkan bahwa Allah memerintahkan ini, melarang dari perbuatan itu, mencintai ini, memurkai perbuatan itu , dan meridhai perbuatan ini.
- Berdzikir kepada-Nya (mengingat-Nya) ketika ada perintah-Nya dengan bersegera melaksanakannya, ketika ada larangan-Nya dengan menjauhinya.
- Macam dzikir yang kelima adalah berdzikir kepada-Nya dengan meyebut/mengingat limpahan nikmat, kebaikan, karunia dan kepemurahan-Nya bagi hamba-hamba-Nya. Ini juga termasuk dzikir yang paling utama.
Adapaun dzikir yang paling utama dan agung adalah dzikir yang diucapkan oleh seorang hamba yang di dalamnya terhimpun semua macam dzikir yang tersebut di atas.
Bagaimana cara menyesuaikan antara lisan dan hati ketika berdzikir kepada Allah ?
Di atas telah kami nukilkan penjelasan dari para ulama Ahlus sunnah bahwa dzikir yang sempurna, paling utama dan besar manfaatnya adalah dzikir yang diucapkan dengan lisan disertai perenungan dalam hati tentang makna dan kandungan dzikir tersebut. Bahkan inilah dzikir diperintahkan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Bukanlah yang dimaksud dengan berdzikir (yang sempurna kepada Allah) jika hanya diucapkan dengan lisan, tapi (maksudnya) adalah dzikir (yang diucapkan) dengan lisan disertai (perenungan dalam) hati. Berdzikir kepada Allah mengandung (meliputi) dzikir (dengan menyebut) nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dzikir (dengan menyebut) perintah dan larangan-Nya, dan dzikir (dengan membaca) firman-Nya (al-Qur’an). Dzikir ini mengandung konsekwensi mengenal (kebesaran dan keagungan)-Nya, beriman kepada-Nya serta (kepada) sifat-sifat ketinggian dan kesempurnaan-Nya, dan memuji-Nya dengan berbagai macam pujian dan sanjungan.
Ini semua tidak akan bisa dilakukan dengan benar kecuali dengan mentauhidkan-Nya (menunggalkan dan mengesakan-Nya dalam semua perbuatan, nama, sifat, dan hak untuk disembah semata-mata).
Maka berdzikir kepada Allah yang hakiki mengandung konsekwensi semua itu, juga mengandung konsekwensi menyebut (mengingat) limpahan nikmat, karunia dan kebaikan-Nya bagi hamba-hamba-Nya”[54].
Kemudian pertanyaan yang muncul dengan sendirinya adalah; bagaimanakan cara dan kiat untuk menyesuaikan antara lisan dan hati ketika berdzikir kepada Allah ? Apakah harus dimulai dengan dzikir lisan terlebih dahulu, atau dzikir dengan hati, atau sekaligus keduanya?
Imam Ibnul Qayyim memaparkan hal ini ucapan beliau: “Di antara orang-orang yang berdzikir ada yang memulainya dengan dzikir lisan meskipun (pada mulanya) hatinya lalai (tidak merenungkan dzikir tersebut), kemudian dia terus berdzikir (dan berusaha merenungkannya) sampai hatinya hadir (untuk merenungkannya), maka bersesuaianlah hati dan lisannya dalam dzikir tersebut.
Ada juga yang tidak mau melakukan itu, dia tidak mau memulai dzikir ketika (hatinya) lalai, bahkan dia berdiam diri sampai dia (dapat) menghadirkan hatinya, maka mulailah dia berdzikir dengan hatinya, lalu ketika dzikir (perenungan) hatinya semakin kuat, lisannyapun mengikutinya, sehingga bersesuaianlah hati dan lisannya (dalam dzikir tersebut).
Maka orang yang pertama memindahkan dzikir dari lisannya ke hatinya, sedangkan orang yang kedua memindahkan dzikir dari hatinya ke lisannya, tanpa menjadikan hatinya kosong dari dzikir. Pada mulanya dia diam (tidak berdzikir), sampai dia merasakan adanya suara hatinya (untuk memulai dzikir). Lalu setelah dia merasakan itu, hatinya pun mulai berdzikir, kemudian berpindahlah dzikir dalam hatinya ke lisannya, lalu diapun tenggelam dalam dzikir (hati dan lisan) tersebut, sampai-sampai dia merasakan semua yang ada pada dirinya (ikut) berdzikir (kepada Allah )”[55].
Kemudian, tentu saja untuk bisa mengusahakan perenungan dalam hati kandungan dzikir yang diucapkan oleh lisan, setelah taufik dari allah , seorang hamba terlebih dahulu harus telah memiliki keimanan yang kuat kepada Allah dan pengenalan yang benar terhadap kandungan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna (ma’rifatullah), yang ini akan melahirkan dalam hati seorang hamba rasa cinta, pengagungan, ketakutan, pengharapan dan penyandaran diri yang utuh kepada Allah . Sebagaimana makna firman-Nya:
{إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ}
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allah )” (QS Faathir:28).
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Semakin bertambah pengetahuan seorang hamba tentang Allah, maka semakin bertambah pula rasa takut dan pengagungannya kepada-Nya…, yang kemudian pengetahuannya ini akan mewariskan perasaan malu, pengagungan, pemuliaaan, merasa selalu diawasi, kecintaan, bertawakal, selalu kembali, serta ridha dan tunduk kepada perintah-Nya”[56].
Imam Ibnu Katsir berkata: “Arti (ayat di atas): Hanyalah orang-orang yang berilmu dan mengenal Allah yang memiliki rasa takut yang sebenarnya kepada Allah, karena semakin sempurna pemahaman dan penegetahuan (seorang hamba) terhadap Allah, Zat Yang Maha Mullia, Maha kuasa dan Maha Mengetahui, yang memiliki sifat-sifat yang maha sempurna dan nama-nama yang maha indah, maka ketakutan (hamba tersebut) kepada-Nya semakin besar pula”[57].
Inilah makna ucapan Imam Ibnul Qayyim yang telah kami nukilkan di atas tentang dzikir yang dipuji dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah , beliau berkata: “Dzikir ini mengandung konsekwensi mengenal (kebesaran dan keagungan)-Nya, beriman kepada-Nya serta (kepada) sifat-sifat ketinggian dan kesempurnaan-Nya, dan memuji-Nya dengan berbagai macam pujian dan sanjungan.
Ini semua tidak akan bisa dilakukan dengan benar kecuali dengan mentauhidkan-Nya (menunggalkan dan mengesakan-Nya dalam semua perbuatan, nama, sifat, dan hak untuk disembah semata-mata).
Maka berdzikir kepada Allah yang hakiki mengandung konsekwensi semua itu, juga mengandung konsekwensi menyebut (mengingat) limpahan nikmat, karunia dan kebaikan-Nya bagi hamba-hamba-Nya”[58].
Beberapa faidah penting yang berhubungan dengan berdzikir kepada Allah
1- Manakah yang lebih utama antara membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdo’a kepada Allah ?
Imam Ibnul Qayyim berkata: “(Hukum asalnya) membaca al-Qur’an lebih utama dari pada berdzikir, dan berdzikir lebih utama dari pada berdo’a. Ini jika ditinjau pada masing-masingnya ketika berdiri sendiri (tanpa dipengaruhi faktor lain). Akan tetapi, terkadang ada faktor lain yang menjadikan sesuatu yang (asalnya) lebih kurang keutamaannya didahulukan dari pada yang lebih utama, maka (ketika itu) tidak diperbolehkan mengeyampingkannya untuk mendahulukan yang lebih utama.
Seperti misalnya, bertasbih (mengucapkan subhanallah/maha suci Allah) ketika ruku’ dan sujud, ini lebih utama dari pada membaca al-Qur’an, bahkan membaca al-Qur’an dilarang di dua waktu tersebut[59] dengan larangan (yang berarti) haram atau makruh (dibenci).
Demikian pula at-tasmii’[60] dan at-tahmid[61] (yang diucapkan) pada tempatnya (ketika bangkit dari ruku’ dalam shalat) lebih utama dari pada membaca al-Qur’an (pada waktu itu). Seperti itu juga tasyahhud, dan membaca do’a “Rabbi igfir li warhamni wahdini wa’aafini warzuqni”[62] ketika (duduk) di antara dua sujud lebih utama dari pada membaca al-Qur’an. Juga dzikir-dzikir yang dibaca setelah salam dari shalat, mengucapkan tahlil (laa ilaaha illallah), tasbih (subhanallah), takbir (Allahu akbar) dan tahmid (al-hamdu lillah), lebih utama dari pada menyibukkan diri dengan membaca al-Qur’an. Demikian juga menjawab adzan dan mengucapkannya seperti ucapan muadzdzin (orang yang mengumandangkan adzan) lebih utama dari pada membaca al-Qur’an.
Meskipun keutamaan al-Qur’an dibandingkan dengan semua ucapan (lainnya) seperti keutamaan (kemuliaan) Allah dibandingkan dengan semua makhluk-Nya. Akan tetapi, pada setiap keadaan ada pembicaraan tersendiri, ketika ini diabaikan dengan beralih kepada yang lain, maka luputlah hikmah dan hilanglah kemaslahatan (kebaikan) yang diharapkan.
Demikian juga dzikir-dzikir yang terikat dengan keadaan tertentu lebih utama dari pada membaca al-Qur’an, sebagaimana membaca al-Qur’an lebih utama dari pada membaca dzikir-dzikir yang tidak terikat dengan keadaan tertentu, terkecuali jika ada kondisi tertentu pada diri seorang hamba yang menjadikan berdzikir dan berdo’a baginya lebih bermanfaat dari pada membaca al-Qur’an. Misalnya, ketika dia sedang mengingat dosa-dosanya, lalu dia bertaubat dengan (membaca) istigfar (memohon ampun kepada Allah ). Atau ketika dia sedang menghadapi situasi ketakutan terhadap gangguan setan dari (kalangan) jin maupun manusia, lalu dia membaca dzikir-dzikir dan do’a-do’a untuk perlindungan dan penjagaan (dari Allah ) bagi dirinya. Demikian pula ketika seorang hamba sedang menghadapi suatu hajat (kebutuhan) yang sangat mendesak, sehingga jika dia tidak (segera) memohon hajat tersebut (kepada Allah ) karena sibuk membaca al-Qur’an dan berdzikir, maka (akibatnya) hatinya tidak bisa terkonsentrasi ketika membaca al-Qur’an dan berdzikir. Tapi kalau dia segera berdo’a dan memohon hajat tersebut (kepada Allah ) maka hatinya akan terkonsentrasi penuh kepada-Nya, sehingga akan melahirkan rasa tunduk, khusyu’ dan merendahkan diri (di hadapan-Nya). Maka segera berdo’a (kepada Allah ), dalam keadaan seperti ini, lebih bermanfaat bagi hamba tersebut, meskipun (hukum asalnya) masing-masing dari membaca al-Qur’an dan berdzikir lebih utama dan lebih besar pahalanya (dari pada berdo’a secara umum).
Ini adalah pembahasan yang sangat bermanfaat, butuh untuk dipahami dengan benar. Bagaimana membedakan antara keutamaan suatu amal pada zatnya dan keutamaan amal tersebut dalam kondisi yang khusus, agar kita dapat memberikan masing-masing haknya yang sepenuhnya dan menempatkan segala sesuatu sesuai dengan porsinya…Memperhatikan tingkatan-tingkatan (keutamaan masing-masing amal) ini termasuk kesempurnaan hikmah (diturunkannya syariat Islam) yang merupakan perangkai setiap perintah dan larangan (Allah )…
Dikarenakan shalat mengandung bacaan al-Qur’an, dzikir dan do’a, serta menghimpun semua unsur penghambaan diri dalam bentuk yang paling sempurna, maka shalat lebih utama dari pada membaca al-Qur’an, berdzikir dan berdo’a (yang dilakukan) secara tersendiri. Hal ini dikarenakan shalat menghimpun semua amal tersebut disertai penghambaan diri (ketundukan) aemua anggota badan…Dan Allah Dialah yang maha melimpahkan taufik”[63].
2- Menghitung jumlah dzikir dengan jari-jari tangan kanan
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dia berkata: “Aku melihat Rasulullah menghitung tasbih (dzikir) dengan tangan kanan beliau ”[64].
Dari Yusairah bahwa Rasulullah bersabda kepada para Shahabat perempuan : “Handaknya kalian selalu bertasbih (mengucapkan subhanallah/maha suci Allah), bertahlil (mengucapkan laa ilaaha illallah/tidak ada sembahan yang benar selain Allah) dan mensucikan/mengagungkan-Nya, dan hitunglah (dzikir-dzikir tersebut) dengan ruas-ruas jari tangan, karena jari-jari tangan akan ditanya dan dijadikan berbicara/bersaksi (di hadapan Allah pada hari kiamat)”[65].
Kedua hadits ini menunjukkan keutamaan menghitung jumlah dzikir dengan jari-jari tangan, karena jari-jari itu, sebagaimana anggota badan lainnya, akan menjadi saksi di hadapan Allah pada hari kiamat atas amal kebaikan yang dilakukan oleh seorang hamba di dunia. Inilah makna firman Allah :
{يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS an-Nuur: 24) [66].
Adapun menghitung jumlah dzikir dengan subhah (biji-bijian tasbih) maka ini merupakan cara berdzikir yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para Shahabat . Cukuplah dua hadits di atas menunjukkan buruknya cara berdzikir tersebut karena dengan adanya biji-bijian tasbih ini menjadikan banyak kaum mulimin meninggalkan petunjuk Rasulullah menghitung jumlah dzikir dengan tangan kanan, padahal cara berdzikir seperti ini jelas lebih utama dan diridhai oleh Allah [67].
Ada hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah tentang keutamaan berdzikir dengan biji-bijian tasbih, tapi hadits ini adalah hadits palsu yang didustakan atas nama Rasulullah . Lafazh hadits tersebut adalah: “Sebaik-baik alat untuk berdzikir adalah subhah (biji-bijian tasbih)”.
Hadits ini dikeluarkan oleh imam ad-Dailami dalam “Musnadul Firdaus” (4/98) dengan sanadnya dari ‘Ali bin Abi Thalib dari Rasulullah .
Hadits ini adalah hadits palsu, dalam sanadnya ada rawi yang bernama Muhammad bin harun bin ‘Isa bin Manshur al-Hasyimi, Imam Ibnu ‘Asakir dan Imam al-Khathib al-Bagdadi menyifatinya sebagai pemalsu hadits. Juga rawi yang bernama ‘Abdush Shamad bin Musa al-Hasyimi, dinyatakan lemah riwayatnya oleh para ulama dan dia meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar[68].
Demikian pula hadits riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah berdzikir dengan menggunakan batu-batu kerikil. Hadits ini juga hadits palsu, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Abdullah bin Muhammad al-Qudami, dia meriwayatkan hadits-hadits yang palsu dari Imam Malik[69].
Sebagian dari para ulama ada yang membolehkan berdzikir dengan biji-bijian tasbih, mereka berdalil (berargumentasi) dengan beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah membolehkan dan membiarkan beberapa orang shahabat yang berdzikir dengan menggunakan batu-batu kerikil dan biji-bijian kurma. Akan tetapi semua hadits tersebut lemah dan sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai sandaran.
Yang paling terkenal adalah dua hadits, dari Sa’ad bin Abi Waqqash dan Shafiyyah bintu Huyay . Hadits yang pertama dalam sanadnya ada rawi yang tidak dikenal (majhul) dan rawi yang tercampur hafalannya. Sedangkan hadits yang kedua dalam sanadnya ada rawi yang lemah[70].
Kesimpulannya, petunjuk yang sesuai dengan sunnah Rasulullah dan diridhai Allah dalam menghitung jumlah dzikir adalah dengan menggunakan jari-jari tangan kanan. Adapun menggunakan biji-bijian tasbih, maka ini bertentangan dengan petunjuk Rasulullah dan para Shahabat , sehingga sebagian dari para ulama menghukuminya termasuk perbuatan bid’ah[71]. Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah), semua bid’ah adalah kesesatan (dan tempatnya di Neraka)”[72].
Perlu juga ditegaskan di sini bahwa menghitung dzikir dengan biji-bijian tasbih tidak dibutuhkan dalam mengamalkan dzikir yang benar dan bersumber dari hadits Rasulullah yang shahih, karena jumlah terbanyak yang dihitung dalam dzikir-dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah adalah seratus[73], dan ini sangat mudah dihitung dengan jari-jari tangan kanan.
Adapun dzikir dalam jumlah yang sangat banyak, seperti seribu, lima ribu, sepuluh ribu atau jumlah lainnya, maka semua ini bertentangan dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya , bahkan termasuk bid’ah dan kesesatan. Kemudian kesesatan inilah yang menarik kesesatan berikutnya, yaitu menghitung dzikir dengan biji-bijian tasbih, karena jumlah dzikir yang dihitung sangat banyak.
Kalau seandainya orang-orang yang melakukan dzikir-dzikir yang menyimpang tersebut mau mencukupkan diri dengan dzikir yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya , maka tentu, dengan izin Allah , mereka akan terhindar dari keburukan dan kesesatan ini. Wallahul musta’an[74].
3- Tolong menolong dalam berdzikir kepada Allah
Allah U berfirman:
{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ}
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS al-Maaidah:2).
Imam Ibnu Katsir berkata: “(Dalam ayat ini) Allah I memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, yang ini adalah al-birr (kebajikan), dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mungkar, yang ini adalah ketakwaan, serta melarang mereka dari (perbuatan) saling membantu dalam kebatilan dan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan maksiat”[75].
Termasuk dalam dalam hal ini adalah tolong-menolong dalam berdzikir kepada Allah , dengan saling mengingatkan untuk menunaikan shalat, membaca al-Qur’an dan menetapi dzikir-dzikir yang disyariatkan dalam Islam.
Renungkanlah hadits berikut ini:
عن أبي سعيد الخدري وأبي هريرة قالا: قال رسول الله : « مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ، فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا، كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ »
“Barangsiapa yang terbangun di malam hari, lalu dia membangunkan istrinya, kemudian mereka berdua shalat (malam) dua rakaat, maka keduanya akan dituliskan sebagai laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir (menyebut/mengingat) Allah”[76].
Hadits ini menunjukkan keutamaan besar orang-orang yang saling mencintai karena Allah dan saling tolong menolong dalam berdzikir kepada-Nya. Hadits ini juga mengungkapkan makna firman Allah :
{إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا}
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang selalu dalam keta’atan (kepada Allah), laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang selalu bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir (menyebut/mengingat) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS al-Ahzaab: 35)[77].
Penutup
Demikianlah pemaparan tentang dzikir dan keutamaannya yang demikian agung, semoga tulisan ini menjadi motivasi besar bagi kita untuk lebih semangat berdzikir kepada Allah dan meningkatkan kwalitasnya lahir dan batin, untuk menjadi sebab sempurnanya iman dalam hati kita dan terhindarnya kita dari hati yang keras dan tertutup sehingga tidak dapat menerima kebenaran. Allah berfirman:
{أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نزلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ}
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu’ (tunduk) hati mereka kepada peringatan dari Allah (al-Qur-an) dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturnkan al-kitab kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS al-Hadiid: 16).
Bahkan lisan yang selalu berdzikir dan hati yang selalu bersyukur, dua sifat ini termasuk sebaik-baik bekal di dunia yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk dimiliki oleh orang-orang yang beriman dan mengharapkan keselamatan di akhirat nanti. Rasulullah bersabda: “Harta simpanan yang paling utama (dalam kehidupan di dunia ini adalah) lidah yang selalu berdzikir, hati yang selalu bersyukur dan istri beriman (shalehah) yang selalu membantumu dalam (menjaga) imannya”[78].
Akhirnya, kami mengakhiri tulisan ini dengan berdo’a dan memohon kepada Allah dengan semua nama-Nya yang maha indah dan sifat-Nya yang maha tinggi, agar dia menganugerahkan kepada kita semua taufik untuk selalu menetapi dzikir kepada-Nya dengan hati dan lisan, serta menjadikannya sebagai sebab yang menguatkan dan menyempurnakan keimanan kita kepada-Nya, sesungguhnya Dia maha mendengar, maha dekat lagi maha mengambulkan do’a.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 19 Muharram 1436 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1]Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 417).
[2]Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hlmn 63).
[3]Lihat penjelasan Imam al-Munawi dalam “Faidhul Qadiir” (1/456 dan 504), (3/569) dan (5/493).
[4]Kitab “Zaadul masiir” (6/48).
[5]Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/493).
[6]Kitab “Tafsir al-Qurthubi” (2/166).
[7]Lihat misalnya penjelasan Imam al-Munawi dalam “Faidhul Qadiir” (2/508) dan (4/413).
[8]HSR al-Bukhari (no. 1357) dan Muslim (no. 1031).
[9]Lihat kitab “Syarhu shahih Muslim” (7/122-123), “Fathul Baari” (2/147) dan “Faidhul Qadiir” (4/89).
[10]Lihat kitab “Fathul Qadiir” (3/401) dan “Tafsir al-Qurthubi” (10/339).
[11]Kitab “al-Waabilush shayyib” (hlmn 56).
[12]HSR Muslim (no. 2701).
[13]Kitab “al-Waabilush shayyib” (hlmn 56).
[14]Kitab “al-Waabilush shayyib” (hlmn 117).
[15]Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 74).
[16]Kitab “Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari” (2/39).
[17]Kitab “al-Waabilush shayyib” (hlmn 62).
[18]HSR al-Bukhari (no. 6970) dan Muslim (no. 2675).
[19]Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 74).
[20] HR at-Tirmidzi (5/459), Ibnu Majah (no. 3790), Ahmad (5/195) dan al-Hakim (1/673), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim, al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Baari 6/5) dan Syaikh al-Albani.
[21] Kitab “Fathul Baari” (11/210).
[22] Kitab “Faidhul Qadiir” (3/115).
[23] Kitab “al-Waabilush shayyib” (hlmn 102).
[24] “Haasyiah Ibnil Qayyim ‘alaa sunani Abi Daawud” (7/126).
[25] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hlmn 102).
[26] Kitab “al-Waabilush shayyib” (hlmn 121-122).
[27] KItab “at-Taudhiihu wal bayaanu lisyajaratil iimaan” (hlmn 59).
[28] HSR al-Bukhari (no. 6044) dan Muslim (no. 779).
[29] Lihat kitab “Madaarijus saalikiin” (2/429-430).
[30] Kitab “al- Fawaaid” (hlmn 9).
[31] Lihat keterangan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di dalam kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 315).
[32] Kitab “ma’aalimut tanziil” (hlmn 326). Juga dinukil oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hambal dengan sanad beliau dalam kitab “as-Sunnah” (hal 315 dan 330).
[33] HSR al-Bukhari (no. 16 dan 21) dan Muslim (no. 43).
[34] HSR Muslim (no. 34).
[35]Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/72).
[36]Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 69).
[37]Kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 70).
[38] HR at-Tirmidzi (5/532) dan Ahmad (3/150), dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[39] HSR Muslim (no. 2700).
[40] HR Ahmad (5/239) dan ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (20/166), juga diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah t HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul ausath” (3/5) dan “al-Mu’jamush shagiir” (1/138). Hadits ini shahih dengan dua jalur yang saling menguatkan. Dinyatakan shahih oleh Imam al-Haitsami (Majma’uz zawaaid 10/70) dan Syaikh al-Albani (Shahiihul jaami’ no. 5644).
[41]HSR al-Bukhari (no. 1357) dan Muslim (no. 1031).
[42] Kitab “al-Waabilush shayyib” (hlmn 99).
[43] HR Ahmad (2/540) dan Ibnu Hibban (3/97), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani dalam “Shahiihul jaami’ish shagiir” (no. 1906).
[44] Kitab “al-Fawa-id” (hlmn 192).
[45] HSR al-Bukhari (no. 6137).
[46] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Jawaabul kaafi” (hal. 131).
[47] Lihat kitab “Syarhu shahih Muslim” (15/151) dan “Faidhul Qadiir” (2/240).
[48] Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 519).
[49] Lihat kitab “Fiqhul ad’iyati wal adzkaar” (1/62).
[50] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari” (12/143) dan “Zaadul masiir” (4/384).
[51] Kitab “Fathul Baari” (11/209). Lihat juga kitab “Subulus salaam” (1/240).
[52] Lihat kitab “al-Waabilush shayyib” (hlmn 118-120).
[53] HSR Muslim (no. 2726).
[54] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 128).
[55] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 192).
[56]Kitab “Raudhatul muhibbiin” (hal. 406).
[57]Tafsir Ibnu Katsir (3/729).
[58] Kitab “al-Fawa-id” (hlmn 128).
[59] Sebagaimana dalam HSR Muslim (no. 479) dari ‘Abdullah bin ‘Abbas t.
[60] Artinya: mengucapkan sami’allahu liman hamidah/semoga Allah mendengarkan/mengabulkan permohonan hamba yang memuji-Nya.
[61] Artinya: mengucapkan Rabbanaa walakal hamdu…/Wahai Rabb kami, bagi-Mulah segala pujian…
[62] Artinya: Wahai Rabb-ku, ampunilah (dosa-dosa)-ku, rahmatilah aku, berilah hidayah kepadaku, lindungilah aku dan limpahkanlah rizki bagiku.
[63] Kitab “al-Waabilush shayyib” (hlmn 122).
[64] HR Abu Dawud (no. 1502), at-Tirmidzi (no. 3485), an-Nasa’i, Ibnu Hibban (no. 843) dan al-Baihaqi (2/187), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.
[65] HR Abu Dawud (no. 1501), at-Tirmidzi (no. 3583), dinyatakan hasan oleh Imam an-Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dan Syaikh al-Albani (Lihat “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” 1/160).
[66] Lihat kitab “’Tuhfatul ahwadzi” (10/31).
[67] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (1/192).
[68] Lihat penjelasan rinci tentang kepalsuan hadits ini oleh Syaikh al-Albani dalam kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (1/184-187, no. 83).
[69] Lihat penjelasan rinci tentang kepalsuan hadits ini oleh Syaikh al-Albani dalam kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (3/47-48, no. 1002).
[70] Lihat penjelasan rinci tentang kelemahan hadits-hadits ini oleh Syaikh al-Albani dalam kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (1/188-190).
[71] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (1/185). Bid’ah adalah semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah r.
[72] HSR Muslim (no. 867).
[73] Memang ada hadits yang menyebutkan jumlah dzikir lebih dari seratus, akan tapi kelebihan tersebut tidak diperintahkan untuk dihitung.
[74] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (1/192).
[75] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (2/5).
[76] HR Abu Dawud (no. 1451), Ibnu Majah (no. 1335) dan Ibnu Hibban (no. 2568), Dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.
[77] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (4/228).
[78] HR at-Tirmidzi (5/277), Ibnu Majah (no. 1856) dan Ahmad (5/278), Dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi, serta dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hajar dan Syaikh al-Albani (adh-Dha’iifah no. 2176).
Komentar Terbaru