Berjabat Tangan Usai Sholat Sunnah Atau Bid’ah?
24 Januari 2012 3 Komentar
Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali A.M.
MUQODDIMAH
Menjadi suatu kelaziman bagi kebanyakan kaum muslimin di tanah air kita, setiap usai sholat berjama’ah satu per satu jama’ah mengulurkan tangannya ke samping kanan, kiri, bahkan ke belakang. Serasa kurang afdhol jika usai sholat tidak dilengkapi saling bersalam-salaman.
Dalil yang sangat mendasar dalam perkara ini tidak lain adalah hadits-hadits umum yang menganjurkan kaum muslimin untuk saling berjabat tangan yang bermanfaat menggugurkan dosa.[1] Di sisi lain, sebagian saudara kita mengatakan bahwa bersalam-salaman usai sholat adalah amalan yang tiada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia (baca : bid’ah), bahkan ada yang terang-terangan menolak dengan tegas ketika seorang awam mengulurkan tangan hendak menjabat tangannya usai sholat, lalu timbullah keracunan dan fitnah.
Bagaimanakah tinjauan Islam dalam hal ini? Jika memang tiada tuntunannya, apakah dibenarkan sikap menolak uluran tangan orang lain seusai sholat dengan dalih mengingkari kemungkaran? Marilah kita simak kajian kita ini, mudah-mudahan Allah melapangkan dada dan hati kita untuk setiap kebenaran. Amin.
MAKNA SALING BERJABAT TANGAN[2]
Bersalam-salaman – dalam bahasa kita – diambil dari bahasa Arab yang bermakna (berjabat tangan). Disebut saling berjabat tangan apabila seseorang meletakkan telapak tangannya pada telapak tangan orang lain.[3]
Saling berjabat tangan disyari’atkan bagi sesama muslim, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin lainnya, lalu (yang satu) mengucap salam (kepada yang lainnya), dan saling berjabat tangan, niscaya akan berguguran dosa-dosa keduanya, sebagaimana bergugurannya daun pepohonan.” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath : 250 dan dishahihkan oleh al-Albani[4]).
KAPAN DIANJUR SALING BERJABAT TANGAN?
Hadits di atas menunjukkan bahwa secara umum disyaria’atkan bagi seorang muslim berjabat tangan dan mengucapkan salam saat berjumpa dengan sesama muslim sebagaimana hadits yang telah jelas diatas, demikian kebiasaan para sahabat seperti yang dikatakan oleh asy-Sya’bi :
“Biasanya para sahabat Nabi jika saling berjumpa, mereka saling berjabat tangan, dan jika datang dari bepergian jauh mereka berpelukan.”[5]
Demikian juga disyari’atkan untuk saling berjabat tangan dan mengucapkan salam ketika hendak saling berpisah, sebagaimana keumuman hadits al-Baro’ bin Azib, beliau berkata :
“Termasuk di antara kesempurnaan penghormatan adalah jika engkau menjabat tangan saudaramu.”[6]
Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Siapa yang meneliti hadits-hadits tentang (anjuran) berjabat tangan ketika saling berjumpa akan menjumpai hadits-hadits tersebut lebih kuat dibandingkan hadits-hadits anjuran berjabat tangan ketika saling berpisah, maka siapa yang mengerti dirinya, akan menarik kesimpulan bahwa saling berjabat tangan yang kedua (saat berpisah) anjurannya tidak sama tingkatannya dengan anjuran berjabat tangan yang pertama (saling berjumpa), yang pertama adalah sunnah, sedangkan yang kedua hanya dianjurkan, adapun perkataan bahwa (berjabat tangan saat berpisah) itu adalah bid’ah, maka perkataan ini tidak benar sebagaimana dalil yang kami sampaikan.”[7]
HUKUM MENGKHUSUSKAN JABAT TANGAN USAI SHOLAT
Telah kita ketahui bersama bahwa mengucap salam dan berjabat tangan dianjurkan kapan saja ketika sesama muslim saling berjumpa dan hendak berpisah. Sementara itu, tidak diketahui pada seorang pun dari kalangan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta generasi berikutnya, bahwa mereka usai sholat langsung menyalami orang yang dikanan dan kirinya. Seandainya hal itu dilakukan oleh salah satu dari mereka, niscaya akan dijelaskan oleh para ulama dan akan sampai keterangannya kepada kita – walaupun hanya dengan hadits yang lemah, padahal kenyataannya tidak ada satu pun hadits yang menerangkan hal itu, bahkan banyak para ulama yang menegaskan bahwa hal itu merupakan perbuatan bid’ah.[8]
– Berkata al-‘Izz bin Abdissalam rahimahullah, “Bersalam-salaman setelah (sholat) Subuh dan Asar termasuk bid’ah, kecuali orang yang baru datang bertemu dengan orang yang dia menyalaminya sebelum sholat, sebab berjabat tangan itu dianjurkan ketika baru datang (berjumpa). Adapun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau setelah salam langsung berdzikir dengan dzikir-dzikir yang disyari’atkan. Beliau beristighfar tiga kali, lalu beliau berpaling, beliau mengucapkan do’a :‘Wahai Tuhanku peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hambaMu.’ (HR. Muslim 62).
Demikianlah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta sahabatnya yang mulia, usai sholat langsung berdzikir. Adapun berjabat tangan usai sholat, maka akan memutuskan dzikir orang lain, dan hal itu jelas dilarang, sedang sebaik-baik perkataan agama adalah mengikuti jejak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[9]
Jika bid’ah saling berjabat tangan usai sholat pada zaman al’Izz bin Abdissalam terjadi pada sholat Subuh dan Asar saja, maka pada hari ini bid’ah tersebut menjalar pada semua sholat fardhu, bahkan masuk kepada sholat lainnya.
– Berkata al-Luknawi rahimahullah, “Sudah menyebar dua perkara (bid’ah) pada zaman kita ini di kebanyakan negara, khususnya negeri ad-Dakn yang mana dari sanalah sumber bid’ah dan fitnah-fitnah. Pertama, mereka tidak mengucapkan salam saat memasuki masjid pada waktu (hendak) sholat Subuh, tetapi mereka langsung masuk dan sholat sunnah, lalu sholat wajib (subuh), kemudian setelah sholat Subuh baru saling mengucap salam satu sama lainnya, maka ini adalah perkara yang buruk karena mengucap salam disyari’atkan saat saling berjumpa sebagaimana telah sah keterangannya dalam hadits-hadits, dan bukanlah (mengucapkan salam itu) ketika sudah duduk di tengah di majelis. Kedua, mereka saling berjabat tangan usai sholat Subuh, Asar, sholat Id, dan sholat Jum’at, padahal disyari’atkannya berjabat tangan adalah ketika awal berjumpa (bukan ketika duduk di tengah majelis).”
– Termasuk (para ulama) yang melarang (saling berjabat tangan usai sholat) adalah Ibnu Hajar al-Haitami dari kalangan ulama madzhab asy-syafi’i,[10] beliau mengatakan, “Apa yang dilakukan manusia berupa saling berjabat tangan usai sholat lima waktu hukumnya dibenci, dan tidak ada asal-usulnya dalam syar’at.”[11]
– Demikian juga Quthbuddin bin Alauddin al-Makki al-Hanafi, bahkan beliau menjadikannya termasuk bid’ah yang buruk dalam kitabnya Majalisul Abror, beliau berkata, “Saling berjabat tangan adalah perkara yang baik ketika saling berjumpa. Adapun dalam keadaan bukan saling berjumpa seperti berjabat tangan usai sholat Jum’at dan sholat Id seperti kebiasaan manusia saat ini, maka hadits-haditsnya tidak menyebutkan hal itu, sehingga tetap tidak ada landasannya, padahal sudah menjadi baku dalam tempatnya (kaidah) : ‘Apa saja yang tiada dalilnya maka tertolak, dan tidak boleh taklid (membebek) dalalm hal itu.’”[12]
– Para ulama ahli fiqih dari kalangan madzhab Hanafi, Syafi’i dan Maliki terang-terangan mengatakan hal itu termasuk perkara yang dibenci dan bid’ah, seperti disebutkan dalam al-Multaqot, “Saling berjabat tangan usai sholat hukumnya dibenci secara total, sebab para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah saling berjabat tangan usai sholat, dan itu termasuk (mengikuti) sunnah / petunjuknya kaum Rofidhoh.”[13]
– Syaikhul Islam ketika ditanya tentang hukum berjabat tangan usai sholat, beliau menjawab, “Saling berjabat tangann usai sholat bukan termasuk sunnah, melainkan termasuk bid’ah.”[14]
– Berkata Syaikh al-Albani rahimahullah“Adapun saling berjabat tangan usai sholat, maka tidak diragukan itu bid’ah, kecuali jika dua orang belum saling berjumpa saat itu, maka disunnahkan saling berjabat tangan (usai sholat).”[15]
– Lajnah Daimah ditanya hukum berjabat tangan usai sholat apakah termasuk bid’ah atau sunnah?
Jawabnya : Saling berjabat tangan usai sholat dengna menjadikannya rutinitas, tidak kami ketahui dalilnya. Hal itu termasuk bid’ah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Barang siapa mengamalkan suatu amalan (agama) yang tidak ada dalil padanya, maka bertolak.” Dalam suatu riwayat, “Barang siapa mengada-adakan dalm urusan (agama) kami yang tidak termasuk didalamnya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari : 2499 dan Muslim : 3242) (Fatawa Lajnah Daimah no. 268).
Walhasil, apa yang dilakukan sebagian kaum muslimin ketika masuk masjid tanpa mengucapkan salam dan langsung diam di masjid sampai selesai sholat baru kemudian saling berjabat tangan dan menjadikan hal itu sebagai kebiasaan, maka termasuk bid’ah. Adapun saling berjabat tangan secara umum ketika pertama kali berjumpa disertai dengan ucapan salam sebelumnya, maka hukumnya sunnah.[16]
MENYIKAPI JABATAN TANGAN USAI SHOLAT
Sebagai saudara kita barangkali karena menganggap jabat tangan usai sholat adalah bid’ah lalu dia menolak ajaran jabat tangan orang yang tidak tahu (orang awam) terhadap bid’ah dengan dalih mengingkari kemungkaran, lalu yang timbul adalah fitnah, kecurigaan, kebencian, dan tidak tersampaikannya sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik.
Karena itu, jika kondisinya demikian maka bukanlah termasuk sikap yang bijaksana menolak ajakan jabat tangan orang awam, seharusnya ajakan jabat tangan diterima dengan lembut, lalu jika mampu, dia jelaskan hukum jabat tangan yang sebenarnya, karena permasalahannya memang perlu penjelasan dan hukum asalnya sunnah, betapa banyak manusia mendapat petunjuk kebenaran sebab digunakan cara lemah lembut dan bijaksana, dan betapa sering manusia menjauhi kebenaran sebab disampaikan secara kasar dan kurang sopan.[17]
SYUBHAT-SYUBAT
Syubhat pertama
Saling berjabat tangan usai sholat termasuk masalah khilafiyah sehingga tidak boleh diingkari.
Jawabnya : Tidak semua perbedaan / khilaf itu bisa diterima dan tidak boleh diingkari. Kewajiban setiap orang yang beriman ketika menjumpai perbedaan pendapat, dia harus menggali masalah semampunya dengan cara merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat QS. An-Nisa’ [4] : 59). Setelah itu, dia harus memahami dengan benar sehingga mengetahui masalah tersebut termasuk sunnah atau bid’ah menurut al-Qur’an dan sunnah Rosul, kemudian menerapkan kaidah-kaidah ushuliyyah terhadap masalah. Apabila hasilnya bid’ah yang mungkar maka dia wakjib menerangkan masalah tersebut kepada umat dan menasihati umat dengan bijaksana agar tidak melakukannya.[18]
Syubhat kedua
Al-‘Izz bin Abdissalam memasukkan masalah ini ke dalam bid’ah yang mubah bukan haram.
Jawabnya : Adapun pembagian bid’ah menjadi beberapa hukum telah dibantah oleh para ulama[19]. Pada sahabat sepakat bid’ah dalam masalah agama itu semuanya sesat, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim 2/595)[20]
Syubhat ketiga
Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Hukum asal berjabat sunnah, dan mereka menjadikannya sebagai rutinitas dalam sebagian keadaan (usai sholat misalnya), tidaklah keluar dari koridor hukum asal sunnah.” (Fathul Bari : 11/55)
Jawabnya : Adapun perkataan Imam Nawawi di atas, maka setiap perkataan manusia diterima jika benar dan ditolak jika salah, sedang perkataan tersebut jelas bertentangan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tertolak.[21]
Imam Nawawi menjelaskan maksud perkataan diatas yang masih global dalam kitabnya al-Adzkar, beliau berkata : “Ketahuilah bahwa berjabat tangan ketika saling berjumpa hukumnya sunnah, adapun kebiasaan manusia berupa saling berjabat tangan usai sholat Subuh dan Asar, maka tidak ada asal-usulnya dalam syari’at jika dengan cara seperti ini, tetapi hal itu boleh sebab hukum asal berjabat tangan adalah sunnah, sedangkan mereka melakukannya pada sebagian waktu dan meninggalkannya pada banyak waktu atau mereka tinggalkan pada kebanyakan waktu, maka hal itu tidak keluar dari koridor hukum asal (sunnahnya) berjabat tangan yang telah dianjurkan oleh syari’at.” (Al-Adzkar Pasal “fi al-Mushofahah” : 1/586-587).
Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwa jika sesekali melakukan hal tersebut – tetapi kebanyakan (sering) nya ditinggalkan – maka hal itu boleh karena keumuman dalil, tetapi jika melazimi / menjadikannya sebagai rutinitas, maka inilah yang termasuk bid’ah. Wallahu A’lam.
Syubhat keempat
Ada hadits yang berbunyi : “Berjaba tanganlah setelah sholat Subuh, maka Allah akan menuliskan bagi kalian 10 pahala.” Dan dalam lafazh lain, “Berjabat tanganlah setelah sholat Asar, maka kamu akan dibalas dengan rahmat dan ampunan.”
Jawabnya : Kedua hadits itu palsu, dibuat-buat oleh para pelaku jabat tangan usai sholat. Demikianlah, hadits-hadits yang semisal itu juga palsu, tidak ada yang sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[22] Wallahu a’lam
Sumber: Majalah Al Furqon no. 116 edisi:1 th ke.-11 Sya’ban-Ramadhan 1432H
[1] HR. Thobroni dalam al-Mu’jam al-Ausath : 250, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah : 1/52.
[2] Lihat Lisanul Arab : 7/356 karya Ibnu Manzhur dan al-Mu’jamul Wasith hlm. 516
[3] Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Hadits-hadits (dalam masalah berjabat tangan) semuanya menunjukkan bahwa yang disunnahkan dalam berjabat tangan adalah dengan satu tangan saja, adapun yang dilakukan sebagian masyayikh yang berjabat tangan dengan kedua tangan semuanya, maka hal ini tidak sesuai sunnah.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah : 1/52).
[4] Al-Mudziri menghukumi keabsahan hadits ini karena tidak dijumpai perawi yang cacat di dalamnya, Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “bahkan ada hadits yang mengguatkan hadits ini sehingga menjadi kuat, di antaranya hadits Anas dari Dhiya’ al-Maqdisi dalam al-Mukhtaroh, dan al-Mundziri menyandarkan (riwayat ini) kepada Imam Ahmad dan selainnya.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah : 1/52).
[5] HR. Thobroni dalam al-Ausath : 3/270, Baihaqi : 7/100, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shohihah : 2647.
[6] Hadits-hadits yang semakna dengan ini sangat banyak yang disandarkan kepada perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya, semua hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini tidak sah. Akan tetapi, ada sebuah hadits yang hanya sampai pada perkataan sahabat Nabi yaitu al-Baro’ bin Azib, maka riwayat ini sah sampai kepada beliau, semua perawinya tsiqoh tepercaya (lihat Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah 1288).
[7] Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah : 1/52
[8] Lihat al-Qoulul Mubin fi Akhtho’il Mushollin karya Masyhur Hasan Salman hlm. 293-294.
[9] Lihat Fatawa al’Izz bin Abdissalam hlm. 46-47, dan al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 3/488 (dinukil dari al-Qoulul Mubin fi Akhto’il Mushollin karya Masyhur Hasan Salman hlm. 294).
[10] Lihat as-Si’ayah fil Kasyfi ‘Amma fi Syarhil Wiqoyah hlm. 264, ad-Din al-Kholish : 4/314, al-Madkhol : 2/84, dan as-Sunan wal Mubtada’at hlm. 72-87.
[11] Ibid
[12] Lihat al-Qoulul Mubin fi Akhtho’il Mushollin Karya Masyhur Hasan Salman hlm. 295.
[13] Ibid
[14] Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah : 5/335
[15] Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah : 1/23
[16] Dinukil secara bebas dari al-Masjid fil Islam Ahkamuhu wa Adabuhu wa Bida’uhu karya Khoiruddin al-Wanili, cet. Ad-Darul Atsariyah, cetakan 1428 H.
[17] Lihat Tamamul Kalam fi Bid’iyyatil Mushofahah Ba’das Salam hlm. 23, dinukil secara bebas dari al-Qoulul Mubin fi Akhtho’il Mushollin hlm. 296-297.
[18] Lihat Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan, dan Selamatan karya penulis hlm. 70-76, cetakan pertama, Pustaka al-Ummat, 1427 H.
[19] Lihat keterangan “semua bid’ah adalah sesat” yang sangat memuaskan dalam al-Bid’ah wa Atsaruha as-Sayyi fil Ummah karya Abu Usamah Salim bin Id al-Hilali hlm. 100-106, lihat pula Ilmu Ushul al-Bida’ karya Ali bin Hasan al-Halabi hlm. 91-105, al-I’tishom karya Ali bin Hasan al-Halabi hafidhahullah hlm. 91-105, al-I’tishom karya Imam asy-Shathibi : 1/319, dan al-Ibda’ fi Kamil asy-Syar’i karya Syaikh Ibnu Utsaimin hlm. 13.
[20] Lihat penjelasan masalah “semua bid’ah sesat” dalam al-I’tishomi karya Imam asy-Syathibi : 2/49, lihat juga Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan, dan Selamatan hlm. 34-38.
[21] Muhammad Syamsuddin al-Azhim al-Abadi telah membantah perkataan Imam Nawawi di atas dan menegaskan bahwa perkataannya jelas salah (lihat Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud : 11/247).
[22] Lihat as-Si’ayah fil Kasyfi ‘Amma fi Syarhil Wiqoyah hlm. 265 (dinukil secara bebas dari al-Qoulul Mubin fi Akhtho’il Mushollin hlm. 296).
Ping-balik: Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (9) [Bid'ahkah Berjabat Tangan Setelah Sholat?-1] |
Ping-balik: Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (10) [Bid'ahkah Berjabat Tangan Setelah Sholat?-2] |
subhanallah..sunnah rasulullah harus di tegakkan, agr umat tdk trll jauh mximpang aqidahnya!