Pentingnya Belajar Dari Sejarah

Ustadz Abdullah Taslim. MA

     Sejarah dan peradaban Islam merupakan bagian penting yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan kaum muslimin dari masa ke masa. Betapa tidak, dengan memahami sejarah secara baik dan benar, kaum muslimin bisa bercermin diri untuk mengambil banyak pelajaran kebaikan dan membenahi kekurangan/kesalahan mereka guna meraih kejayaan dan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Semoga Allah Ta’ala meridhai sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang mengungkapkan hal ini dalam ucapannya: “Orang yang berbahagia (beruntung) adalah orang yang mengambil nasehat (pelajaran) dari (peristiwa yang dialami) orang lain”[1].

Dalam al-Qur’an Allah Ta’ala bersumpah dengan al-‘ashr (masa/jaman) karena padanya banyak terdapat peristiwa-peristiwa yang dapat menjadi renungan dan pelajaran bagi manusia, itulah jaman meraih keberuntungan dan amal shaleh bagi orang-orang yang beriman, serta saat mendapatkan kerugiaan dan kecelakaan bagi orang-orang yang berpaling dari petunjuk-Nya[2]. Allah berfirman:

{وَالْعَصْرِ إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ}

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, saling menasehati supaya mentaati kebenaran, dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS al-‘Ashr: 1-3).

Oleh karena itulah, imam asy-Syafi’i menggambarkan agungnya kedudukan surah al-‘Ashr ini dengan ucapannya: “Seandainya Allah tidak menurunkan (dalam al-Qur’an) sebuah argumentasi bagi semua makhluk-Nya kecuali surah ini (saja) maka itu cukup bagi mereka”[3].

Kisah-kisah dalam al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih

     Sebaik-baik kisah sejarah yang dapat diambil pelajaran dan hikmah berharga darinya adalah kisah-kisah yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Karena kisah-kisah tersebut disamping kebenarannya pasti, karena bersumber dari wahyu Allah yang maha benar, juga karena kisah-kisah tersebut memang Allah sampaikan untuk menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berakal sehat.

Allah Ta’ala berfirman:

{لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُون}

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi ‘alaihis salam dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat). al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS Yusuf:111).

Artinya: pada kisah-kisah tersebut yang menggambarkan keadaan para Nabi ‘alaihis salam dan umat mereka, serta menjelaskan kemuliaan orang-orang yang beriman dan kebinasaan orang-orang kafir yang mendustakan seruan para nabi ‘alaihis salam, pada semua itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang beriman untuk memantapkan keimanan mereka dan menguatkan ketakwaan mereka kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya”[4].

Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan pentingnya memahami kisah-kisah tersebut sebagai sebab untuk meraih ridha Allah, beliau berkata: “Termasuk hal yang paling jelas (manfaatnya dalam kebaikan) bagi orang-orang (beriman) yang memiliki pemahaman (yang benar) adalah (merenungkan) kisah-kisah orang-orang yang terdahulu maupun orang-orang jaman sekarang, (yaitu) kisah orang-orang yang taat kepada Allah dan kemuliaan yang Dia berikan kepada mereka, serta kisah orang-orang yang durhaka kepada-Nya dan kehinaan yang Dia timpakan kepada mereka. Barangsiapa yang tidak bisa memahami kisah-kisah tersebut dan tidak dapat mengambil manfaat darinya maka (sungguh) tidak ada jalan (kebaikan) untuknya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

{وَكَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنْ قَرْنٍ هُمْ أَشَدُّ مِنْهُمْ بَطْشًا فَنَقَّبُوا فِي الْبِلادِ هَلْ مِنْ مَحِيصٍ}

“Dan berapa banyaknya umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)?” (QS Qaaf: 36).

Salah seorang ulama salaf berkata: “Kisah-kisah (dalam al-Qur’an) adalah tentara-tentara Allah”, artinya: kisah-kisah tersebut tidak bisa disanggah oleh para penentang kebenaran…

Maka wahai hamba Allah, bersungguh-sungguhlah untuk memahami tali yang menghubungkan Allah dengan hamba-hamba-Nya ini, karena barangsiapa yang berpegangteguh dengannya maka dia akan selamat (dari kebinasaan) dan barangsiapa yang berpaling darinya maka dia akan binasa”[5].

Kisah-kisah keteladanan dan peneguh keimanan

Kisah-kisah sejarah para Nabi ‘alaihis salam adalah termasuk sebab utama untuk mengokohkan dan menyempurnakan keimanan dalam hati orang-orang yang beriman.

Allah U berfirman:

{وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}

“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalamsuratini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS Huud:120).

Dalam ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang ketabahan dan kesabaran para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperjuangkan dan mendakwahkan agama Allah sangat berpengaruh besar dalam meneguhkan hati dan keimanan orang-orang yang beriman di jalan Allah.

Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir berkata: “Allah berfirman: semua yang kami ceritakan padama tentang kisah para rasul yang terdahulu bersama umat-umat mereka, ketika mereka berdialog dan beradu argumentasi (dengan umat-umat mereka), ketabahan para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam (menghadapi) pengingkaran dan penyiksaan (dari musuh-musuh mereka), serta bagaimana Allah menolong golongan orang-orang yang beriman dan menghinakan musuh-musuh-Nya (yaitu) orang-orang kafir, semua ini adalah termasuk perkara yang (membantu) meneguhkan hatimu, wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar engkau bisa mengambil teladan dari saudara-saudaramu para Nabi yang terdahulu”[6].

Khususnya yang berhubungan dengan Nabi kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meneladani kehidupan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beragama merupakan kewajiban dan keutamaan besar bagi orang-orang beriman yang ingin meraih ridha Allah. Allah berfirman:

{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).

Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam[7].

Keutamaan besar ini tentu tidak dapat diraih oleh seorang muslim kecuali dengan memahami sirah (sejarah perjalanan hidup) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sejarah perjalanan hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan petunjuk terbesar untuk memahami dan megikuti jalan kebaikan yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [8].

Itulah sebabnya mengapa para ulama memberikan perhatian yang sangat besar dalam hal ini, dengan menulis kitab-kitab khusus tentang sirah (sejarah perjalanan hidup) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir sampai wafat. Demikian pula biografi orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, dari kalangan para sahabat dan para ulama salaf setelah mereka.

Diriwayatkan dari ‘Ali bin Husain Zainul ‘Abidin bahwa beliau berkata: “Dulu kami diajarkan tentang (sejarah) peperangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana al-Qur’an diajarkan kepada kami”[9].

Imam Abu Hanifah mengungkapkan hal ini dalam ucapan beliau yang terkenal: “Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikh, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)” [10].

Lebih lanjut, imam as-Sakhawi menukil keterangan Abu Ishak Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim ats-Tsa’labi tentang beberapa manfaat dan hikmah dari kisah-kisah dalam al-Qur’an yang Allah sampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keadaan  para Nabi ‘alaihis salam dan umat-umat yang terdahulu, yaitu:

– Sebagai argumentasi dan bukti yang menunjukkan kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan risalah yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa dari Allah.

– Untuk meneladani sifat-sifat mereka yang dipuji oleh Allah dan menjauhi sifat-sifat yang dicela-Nya.

– Untuk meneguhkan jiwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menampakkan kemuliaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat beliau, karena umat ini dilindungi Allah dari berbagai ujian yang ditimpakan-Nya kepada umat-umat terdahulu, diberi keringanan dalam beberapa hukum syariat dan diistimewakan dengan berbagai kemuliaan yang tidak diberiakan-Nya kepada umat-umat lain.

– Sebagai pelajaran dan pendidikan bagi umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang diisyaratkan dalam beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya:

{لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي}

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi ‘alaihi salam dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat)” (QS Yusuf:111).

– Untuk mengabadikan nama baik dan mengenang jejak-jejak terpuji mereka, sebagaimana doa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam al-Qur’an:

{وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الآخِرِينَ}

“Dan jadikanlah aku (ya Allah) buah tutur yang baik bagi orang-orang yang (datang) kemudian”[11].

Mencintai orang-orang yang shaleh karena Allah.

Demikian pula, dengan membaca sejarah hidup orang-orang yang shaleh dan mengenal sifat-sifat baik mereka, akan memudahkan tumbuhnya rasa cinta kepada mereka karena Allah. Ini merupakan salah satu ciri kesempurnaan iman, sebagimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman): menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allah, dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api”[12].

Sifat mulia ini merupakan sebab utama meraih keutamaan besar di sisi Allah, yaitu dikumpulkan bersama orang-orang shaleh tersebut di surga kelak, karena seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya pada hari kiamat nanti.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”. Sahabat yang mulia, Anas bin Malik, yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata: “Kami (para sahabat) tidak pernah merasakan suatu kegembiraan (setelah masuk Islam) seperti kegembiraan kami sewaktu mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”, maka aku mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan Umar, dan aku berharap akan (dikumpulkan oleh Allah) bersama mereka (di surga nanti) karena kecintaanku kepada mereka, meskipun aku belum mengerjakan amalan seperti amalan mereka”[13].

Penutup

Masih banyak manfaat dan faidah besar lainnya dari sejarah Islam yang dibukukan oleh para ulama kita. Imam as-Sakhawi sampai menulis sebuah kitab khusus untuk menjelaskan hal ini sekaligus menyanggah orang-orang yang meremehkan dan mengecilkan arti pentingnya ilmu sejarah Islam. Kitab beliau tersebut berjudul “al-I’laanu bittaubiikhi liman dzaamat taariikh” (Mengumumkan celaan terhadap orang-orang yang meremehkan sejarah).

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memudahkan kita untuk mengambil teladan dan petunjuk yang baik dari kisah-kisah para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memuliakan kita dengan dikumpulkan di surga kelak bersama para Nabi, para shidiq, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shaleh, Amin.

{وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا}

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan (dikumpulkan) bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (QS an-Nisaa’:69).

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 14 Syawal 1432H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

Artikel: www.ibnuabbaskendari.wordpress.com


[1] HSR Muslim (no. 2645).

[2] Lihat kitab “Haasyiyatu tsalaatsatil ushuul” (hal. 12).

[3] Dinukil oleh syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (“Haasyiyatu tsalaatsatil ushuul”, hal. 14).

[4] Lihat kitab “Aisarut tafaasiir” (2/236).

[5] Mukhtasharu Siiratir Rasuul r” (hal. 9).

[6] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (2/611).

[7] Tafsir Ibnu Katsir (3/626).

[8] Lihat kitab “Marwiyyaatu gazwatil Hudaibiyyah” (hal. 8).

[9] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (2/252).

[10] Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam kitab “Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi” (no. 595).

[11] Kitab “al-I’laanu bittaubiikhi liman dzammat taariikh” (hal. 36-37), dengan ringkas dan penyesuaian.

[12] HSR al-Bukhari (no. 16 dan 21) dan Muslim (no. 43).

[13] HSR al-Bukhari (no. 3485) dan Muslim (no. 2639).

Tinggalkan komentar